Tampilkan postingan dengan label Fictor Ferdinand. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fictor Ferdinand. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Mei 2020

[PIKIR] BELAJAR TENTANG PELUCUTAN MAKNA DARI KISAH WADUK SEPAT SURABAYA

Oleh : Fictor Ferdinand

Memasuki Kampung Sepat sebenarnya tak jauh beda dengan memasuki kampung lain di sekitaran Surabaya. Di akhir pekan saat saya berkunjung, orkes dangdut lokal sedang menggelar latihan ditonton puluhan tetangga. Request lagu dangdut, nyanyi dan tertawa bersama. Namun di balik kegembiraan itu, ada kesiapsiagaan warga. Siap siaga bila suatu saat perusahaan pengembang perumahan datang mengurug Waduk Sepat, icon yang menjadi asal nama Kampung Sepat.

Beberapa bulan sebelum kedatangan saya, tahun 2015 lalu, krisis pada Waduk Sepat mencapai puncaknya. Petugas keamanan mendampingi pekerja dari perusahaan pengembang mendirikan pagar beton yg membatasi Kampung Sepat menggunakan waduknya. Warga yg bertahan & menolak pendirian tembok, ditangkap. Tak terkecuali bunda-ibu.

Tak terbilang berapa banyak demonstrasi digelar warga sebelum peristiwa pendirian tembok itu. Bahkan masyarakat mengajukan tuntutan pada Pemerintah Kota Surabaya. Intinya, mereka menolak pengalihfungsian Waduk Sepat menjadi apartemen. Mereka merasa pengalihfungsian itu tindakan sewenang-wenang pemerintah, & pemerintah telah melakukan kebohongan menggunakan menuliskan di atas kertas status huma sebagai tanah tegalan (tanah yg kering)

Gambar: Pendirian tembok pembatas, dan rakyat yang menolak (asal: surabaya.Tribunnews.Com)

Status lahan di Waduk Sepat itu pada atas kertas memang milik pemkot Surabaya, yg ditukar-guling menggunakan tanah milik sebuah perusahaan pengembang di Kota Surabaya. Bagi rakyat, proses tukar guling & pemindahan kepemilikan itu tidak punya makna nyata. Sejak turun temurun, Waduk Sepat sudah menopang kehidupan warga di Kampung Sepat. Tetapi, satu demi satu fungsi penopang itu hilang. Disengaja atau tidak, proses penghilangan itu tidak disadari rakyat hingga ketika mereka tahu bahwa Waduk itu akan diurug dan dijadikan apartemen.

Bagaimana proses penghilangan makna itu yg bagi saya menarik buat dikupas. Karena prosesnya nir disadari dan masuk akal, sewajarnya proses pembangunan & pengembangan wilayah di loka lain, bila ditinjau berdasarkan kacamata pembangunan-misalnya-umumnya (konvensional).

------***-----

Wilayah Surabaya Utara, dahulu kala, adalah kawasan rawa tempat air parkir sebelum masuk ke sungai. Beberapa kemudian beralih fungsi menjadi lahan persawahan dengan waduk alami dan buatan untuk menampung air dan mengairi persawahan itu. Salah satu kawasan itu adalah  Waduk Sepat di daerah Wiyung, Surabaya Utara.

Gambar: Lokasi Waduk Sakti Sepat (asal: maps.Google.Com)

Tak ada yang memahami, kapan Waduk Sepat timbul. Yang kentara, semenjak Pak Bani (saat ini 66 tahun) masih kecil, kakeknya bilang, saat oleh kakek lahir waduk itu telah terdapat. Mungkin buatan, mungkin jua bukan. Yang jelas Waduk Sepat sudah memberi banyak pada rakyat Kampung Sepat.

Waduk itu pernah sebagai sumber air buat sawah-sawah warga Kampung Sepat. Juga menjadi asal air minum, mandi dan mencuci rakyat. Kerbau-kerbau pula dimandikan di waduk tersebut sesudah lelah membajak sawah.

Pada tahun 80-an, saat status Kampung Sepat berubah dari Desa Sepat menjadi Kelurahan Sepat Lidah Kulon, banyak hal yg lalu terjadi. Tak usang sehabis peralihan status tersebut, tanah-tanah desa yang sejatinya merupakan milik beserta masyarakat Sepat (tanah bengkok) dialihkan kepemilikannya dari tanah desa menjadi Tanah Negara di bawah pemerintahan Kota Surabaya. Sang Mantri Air (petugas yg ditugasi mengawasi pengairan sawah pada kampung oleh komunitas), diambil alih oleh Kelurahan, diangkat sebagai pegawai kelurahan.

Wilayah persawahan di sebelah selatan Kelurahan Sepat juga satu demi satu beralih kepemilikan. Perlahan, waduk dan semua perangkatnya (pintu dan saluran irigasi) tak lagi berfungsi sebagai pengairan. Beberapa pintu air, masih ada sampai sekarang di antara perumahan warga, menandakan fungsinya dahulu. Sampai saat ini, meskipun tak lagi banyak sawah yang diairinya, Waduk Sepat masih berfungsi sebagai penahan air hujan agar tak membanjiri Kampung Sepat, karena posisinya yang memang lebih tinggi dari kampung.

Saat orang menjual sawah-sawahnya, kerbau-kerbau yang pula biasa mandi di Waduk Sepat satu persatu kehilangan pekerjaannya. Si empunya kerbau, pun berganti pekerjaan: menurut petani ke tukang bangunan.

Tak usang terdengar berita mengenai lahan-huma sebelah selatan kampung yang akan dibangun menjadi perumahan-perumahan. Tukang bangunan di Kampung Sepat memandang masa depan cerah. Meskipun mereka mesti bergantung berdasarkan proyek ke proyek.

Dekade 90-an, air bersih menurut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya mengaliri Kampung Sepat. Warga bahagia, lantaran tak perlu lagi mengantri pada sumur dekat Waduk Sepat buat mengambil air. Dulu, antrian ember pada dekat sumur bisa panjang sekali. Apalagi di musim kering. PDAM membuat Waduk Sepat perlahan mulai kehilangan makna lain kehadirannya.

Dahulu, warga bergiliran memelihara waduk, membersihkankan dan menjaga kedalaman waduk. Setiap orang yang punya sawah, mendapatkan bagian dua meter persegi dari waduk. Anak-anak muda yang tak punya garapan, membersihkan satu meter persegi. Tradisi ini disebut gugur gunung. Waduk itu juga dipakai untuk memelihara ikan bersama. Sebelum panen, warga melarungkan sesaji tanda terimakasih untuk berkah Yang Maha Kuasa, dalam bentuk ikan yang mereka panen. Hasil panen dibagi untuk penduduk yang tak berpunya dan anak-anak yatim. Tahun 2000-an, warga membuka usaha wisata kolam pancing yang hasilnya masuk untuk kas desa, yang lagi-lagi sebagian diberikan untuk warga yang kurang mampu dan anak-anak yatim.

Tradisi ini masih bertahan sampai sebelum warta tiba: Waduk Sepat diambil alih sang perusahaan pengembang buat dijadikan perumahan glamor. Statusnya menjadi tanah negara, membuat pemkot Surabaya merasa punya wewenang buat menukar-guling huma dengan perusahaan. Bahkan deskripsi huma, yg kentara-kentara waduk hingga waktu ini, berubah menjadi tanah tegalan di atas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota Surabaya.

-----

Kisah Waduk Sepat menggambarkan kegagalan proses perencanaan pemerintah. Perencanaan wilayah mestinya mengangkat status huma berdasarkan fungsi dan penggunaan lahan, atau minimal menggambarkan pemanfaatan riil dari setiap petak lahan. Sesederhana karena kita nir sedang merencana pada ruang hampa. Ada manusia dan seluruh kisah hidupnya, jejalinan interaksi sosial & interaksi menggunakan alam yg rumit. Bahkan berusia lebih berdasarkan satu generasi. Dimanakah, pada kepuluauan ini, huma kosong yg tanpa jalinan hubungan dengan insan pada sekitarnya?

Namun jalinan hubungan yang membangun makna tersebut, secara tidak sadar dibongkar satu per satu, dilucuti dari manusia-manusianya. Tak ada yang sadar soal ini, ketika status Desa berpindah menjadi Kelurahan dan sang Mantri Air diangkat jadi pegawai negeri. Tak ada yang tahu apa dampaknya ketika mereka menjual lahan-lahan sawah yang diairi Waduk Sepat dan telah memberi makan mereka. Tak ada yang mengerti apa dampak jangka panjangnya ketika air PDAM  mengaliri rumah-rumah warga. Semuanya tampak tak saling berhubungan.

Jauh pada bawah alam pikiran sadar, begitulah mimpi pembangunan: manusia yang berdiri sendiri, terbebas berdasarkan insan lainnya, terbebas dari alam sekitarnya. Hubungan-interaksi diganti menjadi transaksi rupiah. Tak butuh maksud yg terperinci-terangan, atau teori konspirasi. Semuanya akan terhubung dengan sendirinya mengikuti skenario bawah sadar itu. Dan cara pandang ini yg berubah menjadi pada proses perencanaan di waduk sepat: warga Kampung Sepat tak ada urusan lagi dengan Waduk Sepat.

Ini yang terjadi di Kampung Sepat selama empat dekade ke belakang. Namun, hubungan-hubungan itu tak sepenuhnya terputus. Waduk Sepat masih punya makna bagi warga Kampung Sepat. Warga kampung masih punya ikatan antar sesamanya yang membuat mereka melawan dengan gigih.  Bahkan salah seorang tokoh di kampung itu punya slogan: “Waduk Sepat, harga diri warga”

Kisah pelucutan makna ini adalah modus primer pembangunan konvensional sekarang. Ada yg kasar, misalnya kisah Warga Samin di Rembang dan berbagai kisah penggusuran warga kampung pada ibukota. Ada yang lemah lembut tidak terasa misalnya Waduk Sepat dan peminggiran Suku Betawi keluar dari ibukota. Di tempat lain, bentuknya bisa menggunakan dalih pariwisata, transmigrasi, pacuan kuda, & konservasi, yg dengan kasar mencekik ruang hidup penduduk aslinya, seperti kisah suku orisinil di pedalaman Arso, Papua, yg loka berburu-meramunya diambil alih buat lahan transmigrasi.

?Waduk Sepat harga diri rakyat? Tak dikenal dalam kosakata pembangunan konvensional. Semuanya mampu di-mekanisasi. Takut banjir? Normalisasi aliran sungai jawabannya. Siapa yang menolak? Iming-imingi kerja pada proyek perumahan glamor, jadi tenaga sekuriti, jadi energi kebersihan. Pekerjaan yang tidak terdapat hubungannya lagi dengan Waduk Sepat, seperti mengubah pembagian ikan menurut waduk yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Dengan asa mendapat rupiah yg (mungkin) jauh lebih besar , warga terpecah. Sebagian warga yang memandang masa depan terdapat pada proyek-proyek pembuatan perumahan, berbalik memusuhi sesamanya. Mengorbankan relasi-rekanan sosial di antara masyarakat.

-----

Memutus semua interaksi sosial yang kaya antara sesama manusia, & memutus interaksi insan menggunakan alam yg menopang hidupnya, & mengganti semua interaksi itu dengan hubungan transaksional, adalah akal dasar pembangunan konvensional. Dalam bahasa seorang mitra, beliau menyebutnya menggunakan akal krisis. Untuk melawan nalar krisis ini, kita perlu berangkat berdasarkan mengenali tujuan & cara mencapainya. Logika-akal ini perlu dibalik sehingga cara-caranya jadi sama sekali tidak wajar. Ini akan mempermudah kerja-kerja advokasi di lapangan, dan mencegah konflik sebelum beliau mengemuka.

Bagi saya, membalik logika krisis dicapai dengan memperkuat interaksi-interaksi sosial alih-alih menggerusnya dengan transaksi (uang) yg mensyaratkan keterpisahan antara satu sama lain. Memperkuat kebergantungan dengan alam alih-alih melepaskan diri darinya. Petani-petani yg berhadapan menggunakan perusahaan penguasa huma, mereka melawan dengan menanam. Saya sendiri melihat, ini bukan sekedar menanam, namun mempererat jalinan interaksi menggunakan alam. Di Kali Surabaya, contohnya, masyarakat stren kali mengadakan ritual sedekah sungai & membalik rumahnya. Mereka membangun pulang hubungan mereka dengan sungai.

Tembok-tembok pembatas & plang nama hanya bangunan imajiner yang bertutur tentang pemutusan interaksi. Penuturan tembok-tembok & plang itu hanya jadi punya makna bila beliau kita gugu dan turuti. Selama alamnya masih utuh, selama itu pula kita mampu melawan krisis & membangun relasi pulang dengan alam. Sambil berjuang mencegah kehancuran ruang-ruang hayati warga menggunakan satu-satunya bahasa yg sama-sama dipahami: Kami Menolak!

Rabu, 20 Mei 2020

[OPINI] MAKANAN DAN POLITIK: BAGAIMANA HUBUNGAN MAKANAN, NEGARA DAN KEDAULATAN DIRI

Oleh : Fictor Ferdinand

Makanan kita merupakan sebuah arena permasalahan politik. Makanan memilih naik & turunnya popularitas pemerintah. Bahkan menentukan, lahir, & matinya kekuasaan.

Saya jangan lupa bagaimana cita rasanya ketika panen daun katuk yang saya tanam di page rumah. Memakan hasil yg aku tanam sendiri memberikan pengalaman yang tidak sinkron. Di internet, foto laman tempat tinggal penuh menggunakan padi yg ditanam pada pot menciptakan saya berkhayal, suatu waktu saya sanggup bertanam padi sendiri. Merasakan berdiri di kaki sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, adalah pengalaman yg aku pikir mungkin tidak dialami poly orang. Kebanyakan orang mungkin memilih mencari cukup uang buat makan. Bagi mereka yg asal dari famili petani, memakan apa yg ditanamnya, adalah sesuatu yg biasa saja. Tapi bagi aku , yang berasal berdasarkan keluarga bukan petani, ini jadi pengalaman yang unik.

Perasaan berdaulat, bahwa kita nir bertumpu pada orang lain buat makan. Bisa hayati dan mengatur kehidupan sendiri, tanpa takut tak bisa makan. Saya pikir kedaulatan atas makanan merupakan prasyarat penting buat otonomi - bagi diri, komunitas, bahkan negara-bangsa. Makanan bahkan memilih lahir, meninggal & stabilnya suatu negara.

Setidaknya 2 presiden pertama Indonesia diturunkan sesudah sebelumnya terjadi krisis bahan pangan. Bahan kuliner, atau tepatnya beras, hilang atau tidak terjangkau harganya di pasaran. Saya ingat cerita Ibu saya, yang makan nasi bercampur jagung atau singkong, lantaran beras ketika itu (waktu Presiden Sukarno berkuasa) harganya mahal. Aksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) tahun 1966, salah satunya merupakan turunkan harga pangan. Pun demikian halnya dalam ketika turunnya Presiden Suharto. Sejak pertengahan tahun 1997, harga beras melambung tinggi & sulit ditemui pada pasaran. Ujungnya adalah demonstrasi besar -besaran dan kerusuhan massal tahun 1998 yang menciptakan Presiden Suharto lengser.

Presidan Sukarno dan Presiden Suharto, bukan tidak mencoba mendorong produksi beras dalam negeri. Presiden Suharto sepertinya lebih beruntung, karena paket revolusi industri hijau berkembang seiring dengan ditemukannya varietas padi baru (padi IR) oleh International Rice Research Institute, dan naiknya harga minyak yang memungkinkan subsidi pupuk dan pembangunan sistem irigasi (termasuk bendungan bendungan) dimana-mana. Ketahanan beras itu, tak berlangsung lama. Sebelum akhirnya lengser, pemerintahan Suharto sedang dalam upaya mengimpor beras. Pada tahun 2015 hingga 2017 lalu, Presiden Jokowi tengah mencoba mendorong Upaya Khusus (Upsus) untuk mendorong kemandirian pangan Jagung, Kedelai dan Padi/ Beras (Pajale).

Menjaga ketersediaan pangan sangat penting untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Ini telah terbukti dimana mana, sepanjang sejarah. Tak hanya di Indonesia. Revolusi Arab Spring yang bergulir di negara-negara Timur Tengah pun sebenarnya adalah ‘revolusi mereka yang lapar’ (revolution of the hungry).(1) Runtuhnya peradaban Maya pun diduga diawali dari krisis pangan.(2)

Bahan kuliner - pada hal ini beras - memilih naik & turunnya pemerintahan. Bukan hanya itu, beras juga sebagai awal mula lahirnya kekuasaan & peradaban di Asia.

Beras & Munculnya Peradaban di Asia

Menilik pada sejarah, beras sendiri bukan kuliner pokok seluruh orang di Indonesia. Produksi beras menggunakan sawah berair di Indonesia diduga dibawa sang kerajaan Hindu berdasarkan India saat mereka memperluas daerah kerajaan di Jawa.

Komoditi beras sebagai alat politik negara

Sumber foto : www.spi.or.id

Dr. Nadirman Haska, dari BPPT menyebutkan bahwa secara antropologis, masyarakat di Jawa menyebut sego atau sangu untuk nasi, yang sebenarnya berasal dari kata ‘sagu’, tumbuhan yang banyak tumbuh di wilayah pesisir di sebagian besar pesisir pantai Nusantara.(3) Meskipun demikian, suku-suku terdahulu di Indonesia seperti Suku Dayak, Batak dan Toraja yang nenek moyangnya datang dari Asia Selatan, mungkin membawa padi bersama mereka saat memasuki wilayah Nusantara jauh sebelum Kerajaan Hindu dari India masuk.

Lalu mengapa beras yg ditanam di sawah dipilih oleh Kerajaan-kerajaan Hindu awal pada Indonesia? Sebelum itu, saat Peradaban Cina berkembang, kerajaan-kerajaan akbar pada daratan Cina Tengah sudah lebih dulu mendorong penanaman padi di sawah & menghapus kuliner lokal warga Cina yang awalnya terdiri dari umbi-umbian. Umbi-umbian nir sanggup diakumulasi (selesainya dicabut, tak usang dia akan membusuk). Bila nir akan dimakan, umbi akan dibiarkan di dalam tanah. Karenanya, umbi juga tidak bisa menggunakan gampang ditinjau, dihitung dan dikenakan pajak. Sedangkan padi pada sawah gampang dilihat, punya waktu tanam & ketika panen eksklusif sebagai akibatnya lebih gampang ditarik pajaknya.

Apa hubungannya dengan pajak? Kerajaan-kerajaan ini hayati dan mengembang lewat sistem pajak yg diterapkan di wilayahnya & kerajaankerajaan mini yang dikuasainya.

James C. Scott(4) seorang antropolog dan peneliti politik, mengungkapkan beberapa kelebihan beras dibandingkan jenis kuliner lain yang dikonsumsi penduduk asli yg belum dikuasai oleh kerajaan-kerajaan besar kala itu. Beras ditanam di lahan terbuka yg menetap. Sistem irigasi dalam persawahan membuat area yg dibutuhkan buat produksi pangan nisbi permanen, baik secara luasan area, maupun posisi area. Luasan area pertanian menjadi penting, karena residu area yang lain bisa dipakai untuk mengkonsentrasi penduduk. Konsentrasi penduduk ini penting karena pengelolaan lahan pertanian dalam masa tanam dan masa panen akan membutuhkan banyak tenaga. Posisi area juga krusial, supaya bisa dijangkau oleh pusat kerajaan. Semakin jauh dari sentra kerajaan, semakin sulit kontrol, pencatatan & penetapan pajaknya. Cara menumbuhkan padi jua dapat direplikasi menggunakan gampang di berbagai loka, sebagai akibatnya sawah sahih-benar bisa ?Dicetak? Di banyak sekali loka sesuai kebutuhan.

Scott menyebut sistem pajak ini sebagai cara untuk menyerap state-accessible products (SAP). (5) Seiring dengan perluasan wilayah kerajaan, kebutuhan untuk menyamaratakan sistem perpajakan atau sistem penghisapan produk ini menjadi semakin kuat. Penguasaan daerah baru biasanya dilakukan bersamaan dengan pengenalan cara bercocok tanam padi sebagai metode produksi pangan. Hal ini mengurangi keanekaragaman sumber pangan yang ada sebelumnya. Tidak sampai sepenuhnya monokultur, tapi benar-benar mereduksi keragaman pangan yang sudah ada sebelumnya. Mengapa demikian? Karena bila masyarakat mengembangkan pertanian yang bersifat polikultur, maka cara perhitungan pajaknya bisa berbeda-beda untuk setiap produk. Kebutuhan untuk memiliki satu atau hanya beberapa jenis makanan pokok jadi lebih kuat lagi setelah ditemukannya sistem mata uang. Banyak produk makanan hasil tanaman polikultur, berarti penentuan harga yang berbeda untuk tiap jenis, perbedaan pajak, perbedaan harga lahan, dan seterusnya. Kompleks sekali.

Pola pertanian monokultur (hanya satu jenis tanaman ditanam di satu lahan tertentu) dan polikultur (lebih dari satu jenis tanaman ditanam di satu lahan tertentu)

Sumber foto : dokumen pribadi (pertanian polikultur), www.kimgendeng.blogspot.co.id  (pertanian monokultur)

Tidak kalah krusial merupakan pola kerja rakyat. Pada sistem persawahan ada ketika-waktu pada mana orang akan ramai-ramai turun ke sawah untuk tanam dan panen. Diantara waktu-ketika tersebut, kerajaan dengan mudah mengetahui kapan waktu yg tepat buat memanfaatkan tenaga kerja berdasarkan warga (yang jua merupakan ?Produk? Lain yg sanggup dihisap sang kerajaan/ negara) buat mendukung program-acara pembangunan kerajaan (jalan, bangunan ibadah, dll).

Dalam perkembangannya, dinamika interaksi ini tidak hanya berhenti dalam interaksi penghisapan pemerintah terhadap warga . Tapi pemerintah pula berusaha menciptakan hubungan kebergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Mirip sebuah kisah percintaan, tanpa hubungan kebergantungan ini, sebuah pemerintahan tak akan berumur panjang.

Beras Sebagai Alat Mempertahankan Hubungan Paternalistik Negara - Warga

?Orang Indonesia belum makan jikalau belum ketemu nasi.? Begitu candaan yg biasa kita dengar soal kebiasaan makan kita. Ini aneh, lantaran dahulu tidak seluruh wilayah pada Indonesia mengonsumsi beras. Konsumsi beras pada wilayah-wilayah lain, khususnya di Indonesia Timur, mungkin baru terjadi sejak akhir tahun 70-an seiring dengan program swasembada pangan.

Salah satu kebijakan yang poly menuai kritik ketika ini merupakan kebijakan ?Berasisasi? Yg berlangsung di masa pemerintahan Presiden Suharto. Kebijakan ini mengakibatkan dalam perubahan pola makan sebagian rakyat Indonesia, terutama mereka yg tinggal pada daerah Indonesia Timur yang sumber karbohidrat utamanya adalah sagu, ubi, jagung atau singkong. Program ?Cetak sawah?, pembangunan saluran-saluran irigasi, paket transmigrasi, subsidi pupuk, pestisida, acara petani teladan, bahkan sampai kisah Suharto Anak Petani pun diangkat mendorong perluasan lahan-huma sawah di Indonesia. Jagung, bulgur, sagu & umbi-umbian ditertawakan menjadi identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, atau kuliner jaman perang. Nasi, ditampilkan sebagai kuliner orang ?Maju?, tersaji pada acara-acara pemerintahan, & program yg mengundang ?Orang-orang krusial?. Akibatnya, umbi-umbian, jagung & sagu pun ditinggalkan. Dan konsumsi beras per orang pada Indonesia adalah yg tertinggi di global.(6)

Pengolahan sagu di Papua

Sumber foto : www.registarapa.blogspot.com

Pada dasarnya interaksi negara dan rakyat nya adalah interaksi paternalistik, atau hubungan kebergantungan antara anak (warga ) & orang tua (pada hal ini negara). Selain urusan pajak misalnya yang telah diuraikan sebelumnya, beras pula dipakai buat menjaga hubungan paternalistik ini. Jika suatu daerah bisa berdikari menggunakan pangan yg dihasilkannya sendiri, lalu di mana kiprah pemerintah sebagai bapak? Jadi kemudian konsumsi beras perlu digalakkan, lantaran beliau akan menjadi medium pemerintah buat menjalankan kiprahnya sebagai ?Bapak? Yg mengangkat ?Anak anak?-nya menurut kemiskinan dan ketertinggalan. Menjadi medium bantuan menggunakan program cetak sawah, subsidi pupuk, pembangunan saluran-saluran irigasi dan paket hibrida. Bila sang anak bisa mengurus makanannya sendiri, lalu bagaimana ?Bapak? Sanggup menunjukkan kasih sayangnya? Dalam konteks program pengentasan kemiskinan contohnya, tentu lebih gampang mengirim satu jenis bahan kuliner (Raskin).

Di tempat-kawasan yang pada masa lalu punya sejarah panjang kedaulatan pangan, warga tinggal di daerah-daerah yg sulit dijangkau. Mendorong orang makan nasi pada wilayah-wilayah ini tentu tidak mudah. Di daerah-wilayah Timur Indonesia, mahalnya harga beras dan kesulitan pengiriman Raskin, diidentikkan menggunakan parahnya syarat infrastruktur. Padahal kebutuhan infrastruktur nir perlu ada jika nir terdapat kebutuhan si bapak buat ?Mengulurkan tangan merengkuh anak anaknya?.

Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk pada Asmat misalnya, diakui pemerintah ditimbulkan lantaran sulitnya akses menuju kampung-kampung Asmat. Program berasisasi di masa lampau, yang diteruskan dengan program Raskin telah menciptakan rakyat Asmat yg sebelumnya mampu hayati menggunakan sagu, jadi sangat bergantung pada bantuan beras Raskin. Meskipun pemerintah menyadari bahwa ini terjadi karena kesalahan kebijakan Raskin, namun cara yg dipilih untuk mengatasi ini misalnya merupakan menggunakan program penanaman sagu (yg dari saya aneh, karena wilayah itu seharusnya penuh menggunakan sagu). Sekali lagi dalam kasus misalnya ini, pemerintah hadir menjadi ?Bapak? Yg menolong ?Anak-anak? Nya lewat bantuan dan acara. (7)

Saat orang mulai bergantung dalam beras, ada alasan-alasan hemat buat mulai mencetak sawah-sawah baru (buat menurunkan harga beras lokal), mengirimkan donasi pupuk, pembangunan irigasi & memasarkan output panen. Maka kemudian, pembangunan infrastruktur didorong bukan hanya untuk mempermudah genre barang & donasi misalnya beras buat masuk, tapi pula dilakukan buat memudahkan aliran surplus bahan pangan dari daerah tersebut.

Surplus pangan ini memang dibuat. Surplus pangan ini akan disalurkan pada kelas-kelas warga yang tidak menghasilkan makanannya sendiri, memberi makan kelas pekerja industri yang tidak sanggup menghasilkan makanannya sendiri. Kelimpahan bahan pangan, harga bahan pangan yang murah, menentukan tingkat inflasi, sekaligus menjamin ketersediaan pangan murah bagi para energi kerja industri. Industrialisasi tidak mungkin terjadi tanpa kelebihan produksi pangan yang digunakan buat memberi makan kelas-kelas pekerja itu.

Industri, membuat lebih banyak hal lagi yang mampu dikenai pajak. Begitulah tujuan awal menurut negara dari James Scott: memaksimalisasi penghisapan SAP lewat media pajak.

------

" Leaders  don't create  followers, they create more leaders ." - Tom Peters

Jika kuliner kemudian sebagai medium interaksi antara penguasa & warganya, menciptakan dan melestarikan hubungan paternalistik & penghisapan penguasa terhadap warga , mungkin suatu saat, menanam tanaman yang akan kita makan sendiri merupakan sesuatu yang ilegal & digolongkan sebagai upaya subversif. Dan beberapa loka bahkan sudah menjadikannya demikian.(8) Dalam interaksi seperti ini, otonomi rakyat adalah sesuatu yang nir disukai oleh pihak-pihak yg menggantungkan hidupnya dari hubungan itu.

Saya pikir telah saatnya kita jadi lebih baik. Mendudukkan posisi negara dan pemerintahan dalam tempat yg tepat. Saya tidak sedang mengkampanyekan sebuah pembelotan atau menghilangkan negara sama sekali. Yang saya pikirkan adalah sebuah institusi pemerintah yg tidak sinkron. Saya pikir kita masih perlu institusi pemerintah ini buat mengkoordinir kita-kita warganya, buat mengurusi urusan-urusan publik yg tidak mungkin dikerjakan segelintir masyarakat saja. Institusi pemerintahan perlu berhenti membuat struktur kebergantungan & penghisapan itu. Fokusnya bukan lagi membentuk surplus produksi, atau sekedar menarik rente berdasarkan penguasaan tanah-tanah, energi kerja dan output kerjanya. Tapi mendorong warganya untuk berdikari.

Jadi dalam banyak konteks, termasuk pangan, yang dilakukan pemerintah dalam benak aku ini, merupakan memastikan warganya mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Caranya mampu beragam : bertukar, merogoh eksklusif menurut alam, menanam sebagian atau semua makanannya. Pemerintah membangun koperasi-koperasi pembuat-konsumen, dimana para pembuat pangan bertemu dengan konsumennya langsung, bertransaksi menggunakan lebih adil. Pemerintah memastikan huma-huma pada syarat terbaiknya untuk menjaga pasokan pangan. Pemerintah memastikan orang-orang yang mau menjadi pembuat mampu mengakses semua kebutuhan materil & immateril (terutama pengetahuannya) dengan mudah.

Merasakan panen berdasarkan hasil kerja sendiri, nir perlu risi nir bisa menerima kuliner saat harga-harga melambung tinggi, aku pikir hal-hal tadi pun akan membuat kita merasa lebih baik. Saya ingat, katuk & beberapa tumbuhan lainnya adalah kuliner yg jadi lauk sehari-hari ketika kondisi ekonomi memburuk di rumah kami saat aku mini dulu. Ibu aku sedikit lebih damai, asalkan beras tidak hilang menurut pasar :)

Daftar Pustaka :

1. https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2011/jul/17/bread-food-arab-spring ; http://www.economist.com/node/21550328

2. http://www.businessinsider.com/maya-civilization-fall-droughts-climate-change-mexico-2016-6  ; https://www.smithsonianmag.com/science-nature/why-did-the-mayan-civilization-collapse-a-new-study-points-to-deforestation-and-climate-change-30863026/

tiga. Https://finance.Detik.Com/industri/d-3108281/bukan-beras-ini-makanan-orisinil-ri-sejak-zaman-kerajaan

4. Lihat Scott, James C. The Art of Not Being Governed. Yale University Press. 2009

5. Catatan: ?Sap? Dalam bahasa Indonesia, juga berarti cairan nutrisi tumbuhan yg umumnya dihisap oleh kutu atau parasit.

6. https://tirto.id/melepas-beras-bofq

7. Http://m.Tribunnews.Com/nasional/2018/01/31/gizi-jelek-pada-papua-karena-pemerintah-paksakan-program-beras-raskin

8. Https://www.Naturalnews.Com/2017-11-20-beyond-stupid-florida-court-declares-its-illegal-to-grow-food-in-your-own-front-yard.Html

http://www.Lifeintheknow.Com/do-not-even-try-and-grow-your-own-food-at-home-it-is-now-illegal/

Cloud Hosting Indonesia