Tampilkan postingan dengan label Dhitta Puti Sarasvati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dhitta Puti Sarasvati. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Juli 2020

[Profil] Nirmala Nair : Walk The Talk and Live Your Truth



Namanya Nirmala Nair. Dia biasa dipanggil Nirmala. Perjalanan Nirmala sebagai seorang aktivis cukup panjang. Kegiatan Nirmala bervariasi,  mulai dari menjadi fasilitator, peneliti, trainer, dan konsultan.  Pada tahun 70-an Nirmala bekerja di Barefoot College, Rajastan, India. Dia juga sempat menjadi konsultan di berbagai LSM. Kini, Nirmala merupakan aktivis di Zero Emmisions Research and Initiatives (ZERI), sebuah jaringan global yang memanfaatkan sains untuk menemukan solusi-solusi untuk berbagai masalah lingkungan. Selama 18 tahun terakhir,
Nirmala tinggal pada Cape Town, Afrika Selatan.


Desember 2011 yang lalu, Nirmala datang ke Bandung untuk berbagi pengetahuannya mengenai yoga, gaya hidup yang sehat, dan keterkaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. Selama di Bandung, Nirmala memberikan kuliah umum mengenai pembangunan berkelanjutan dan juga menjadi fasilitator pelatihan yoga yang  diselenggarakan oleh KAIL. Sejumlah aktivis ikut serta dalam kegiatan tersebut.


Saat memfasilitasi pelatihan yoga, Nirmala bukan hanya mengajarkan gerakan-gerakan yoga dan  gaya hidup sehat. Dia juga menjelaskan mengenai industri makanan, obat-obatan, dan supermarket yang senantiasa berhasil menciptakan konsumen-konsumen yang tidak sadar terhadap apa yang dimakannya. Mereka tidak paham dari mana makanan tersebut berasal. Mereka juga tidak paham apakah makanan tersebut dibutuhkan oleh tubuhnya atau tidak.


Mbak Susan, seorang aktivis KAIL, datang ke tempat pelatihan yoga dengan membawa  berbagai bumbu dapur, daun-daunan, akar-akaran dan buah-buahan khas Indonesia. Ada kunyit, jahe, gula merah, singkong, daun singkong, daun pandan, daun jeruk jambu, markisa, dan jeruk bali. Semuanya digelar di atas tikar untuk ditunjukkan kepada Nirmala. Nirmala menciumi baunya satu per satu dan mencicipinya dengan khidmat. Selama di Bandung, Nirmala juga mencicipi berbagai jamu-jamuan khas Indonesia seperti minuman kunyit asem, beras kencur, kunyit putih.   “Betapa kayanya Indonesia dengan segala bumbu, dedaunan, buah-buahan ini,” ujarnya. Bagi Nirmala, berbagai bumbu dan makanan lokal harus senantiasa dipelihara. Ilmu mengenainya harus diturunkan dari generasi ke generasi mulai dari bagaimana menanam sampai mengolahnya. Melakukan itu merupakan salah satu cara umat manusia menjaga kehidupan (sustain life).


Bagi Nirmala, percuma saja bila ada seseorang yang membicarakan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) ketika dia tidak tahu caranya menjaga kehidupan. Nirmala berpegang teguh pada prinsip, walk the talk and live your truth yang artinya kita harus menjalankan apa yang kita bicarakan, dan hidup sesuai apa yang kita anggap benar.


?Saya merasa sangat murka ketika seseorang berbicara tentang pembangunan berkelanjutan tetapi tidak hidup berkelanjutan. Orang-orang ini tiba ke konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan. Mereka tiba menggunakan kendaraan beroda empat, lalu memberikan pidato tentang hayati yang berkelanjutan. Ketika mereka balik ke kehidupan langsung mereka, mereka nir tahu caranya mempraktekkan apa yg mereka ucapkan.?


Buat Nirmala, pembangunan berkelanjutan kini menjadi semacam sebuah industri besar. Baik industri dan koorporasi seakan-akan punya sebuah check list mengenai apa-apa yang harus dilakukan terkait pembangunan berkelanjutan. Mereka menjalankan CSR mengenai pembangunan berkelanjutan, membuat sebuah gerakan berlabel ‘industri hijau’ tetapi di sisi lain mereka tetap mengeksploitasi lingkungan.


?Sulit bagi aku menerima kontradiksi ini. Setidaknya kalau anda tidak percaya bahwa anda sanggup hidup berkelanjutan, jangan berbicara tentang hayati berkelanjutan layaknya seseorang ahli. Setidaknya bersikaplah jujur!?


Nirmala jauh lebih menghargai orang yang mengatakan bahwa mereka tidak percaya dengan  pembangunan berkelanjutan dibandingkan dengan orang yang bercuap-cuap mengenai pembangunan berkelanjutan tetapi tidak menjalankan apa yang dikatakannya. Kegelisahan Nirmala terkait hal ini disampaikannya dalam sebuah puisi The Myth of Sustainable Development.
(Dhitta Puti Sarasvati)



























Senin, 06 Juli 2020

[PIKIR] Belajar dari Pengalaman Pahit, Mungkinkah?



Ketika tsunami di Aceh terjadi pada tahun 2004,  seorang teman saya kehilangan seluruh keluarganya. Dia sedang menuntut ilmu di pulau Jawa sehingga tidak mengalami diterjang tsunami. Tetapi semua orang yang dikasihinya, khususnya sang Ibu meninggal dunia. Teman saya itu sangat dekat dengan ibunya. Saya masih ingat betapa keras teriakannya saat mendengar kabar duka tersebut. “Saya ingin ibu saya kembali!”


Cerita pada atas hanya galat satu model dari pengalaman pahit seorang. Setiap orang pasti pernah mengalami pengalaman pahit meski menggunakan cara yg tidak selaras.

Mengalami bencana alam, mengalami kekerasan psikis maupun fisik, kekurangan uang, melihat orang yang dikasihi jatuh sakit, kehilangan orang yg dikasihi, dikhianati, patah hati, kelaparan, diperlakukan tidak adil, digusur dari tempat tinggalnya, sakit, dikhianati, famili pecah, gagal, diabaikan, nir dihargai, dan lain-lain. Semuanya pengalaman pahit.



Pengalaman pahit merupakan hal yang sangat menyebalkan. Rasanya sakit & tidak pernah gampang buat dilewati. Kadang butuh ketika yg sangat usang buat menyembuhkan rasa sakit yang ada. Dan nir seluruh orang mampu melewatinya.


Apakah seorang bisa belajar menurut pengalaman getir? Ozlem Ayduk, seseorang pakar psikologi dari Universitas California, Berkeley menyatakan bahwa ada beberapa orang yang berhasil belajar menurut pengalaman pahit dan beberapa orang yang tidak[1]. Menurutnya, salah satu cara buat mampu belajar berdasarkan pengalaman pahit merupakan menggunakan merogoh jarak menurut perasaan kita terhadap pengalaman pahit tadi. Dalam penelitiannya, Ayduk & Kross meminta sejumlah orang buat membayangkan pengalaman pahitnya. Satu gerombolan diminta melihat pengalaman tersebut menurut dari kacamatanya sendiri sedangkan yang lain diminta membayangkan pengalaman pahitnya menurut kacamata seekor lalat yang melihat pengalaman tersebut.
Ternyata, kelompok ke 2 lebih sanggup menganalisis pengalaman pahit mereka secara lebih konstruktif sehingga mampu mengambil pelajaran dari pengalaman pahit tadi. Jadi, untuk mampu belajar berdasarkan pengalaman pahit, salah satu hal yang wajib dilakukan adalah mencoba berjarak terhadap perasaan kita terkait pengalaman tersebut. Tapi, bagaimana caranya? Memangnya gampang? Dari pengalaman sendiri, saya sanggup mengungkapkan bahwa buat sanggup berjarak terhadap pengalaman pahit bukan kasus gampang. Kadang kita membutuhkan bantuan orang lain buat mampu melakukannya.


Perlunya Supporting System


Tahun 2007 saya berada dalam keadaan yang tidak baik karena mengalami beberapa masalah. Tak lama kemudian saya diajak untuk mengikuti support group visi dan misi pribadi yang diselenggarakan oleh KAIL. Salah satu kegiatannya adalah saya dan peserta lain (hanya ber-5) diminta untuk menggambarkan sungai kehidupan masing-masing. Sungai kehidupan adalah sebuah gambar yang merepresentasikan titik-titik penting dalam hidup kita. Hal ini berarti kita perlu mengingat pengalaman baik yang menyenangkan maupun pahit yang menjadikan diri kita seperti sekarang ini. Setelah menggambar, masing-masing peserta diminta bergantian menceritakan sungai kehidupannya. Peserta yang lain harus mendengarkan dan bisa mengajukan pertanyaan.
Proses tersebut memungkinkan saya untuk mengingat kembali pengalaman pahit saya, memvisualisasikannya, menceritakannya kembali, dan menjawab pertanyaan orang lain tentang pengalaman pahit tersebut. Ternyata proses itu memungkinkan saya belajar dari pengalaman pahit saya. Saya belajar bahwa diri saya yang sekarang tidak terlepas dari pengalaman yang saya alami di masa lalu, yang baik maupun yang buruk. Meskipun tidak selalu, beberapa isu yang saya pedulikan beririsan dengan pengalaman pahit saya sendiri. Misalnya, saya pernah mengalami bullying.Hal ini membuat saya cukup peduli dengan isu bullying.



Bullying, asal : www.Crapmama.Com



Saya jua belajar bahwa pengalaman getir memungkinkan saya bisa lebih memahami perasaan orang lain yg punya pengalaman sejenis. Pemahaman ini sangat berharga. Sebagai analoginya orang yang pernah terkena penggusuran pasti lebih mudah tahu orang yg juga pernah terkena penggusuran. Pemahaman ini akan sangat membantu, misalnya saat beliau mau membuat gerakan untuk mendukung orang-orang yang terkena penggusuran.
Sekarang, saya bisa menuliskan segalanya tentang pengalaman pahit saya. Tapi bertahun-tahun yang lalu, mungkin saya tidak bisa melakukannya. Mungkin saya hanya bisa merasakan sakitnya tanpa bisa belajar darinya. Saya beruntung karena dengan mengikuti suport group visi dan misi KAIL, ada sebuah sistem yang memungkinkan saya bisa lebih mudah belajar dan berefleksi dari pengalaman pahit saya.
Belajar dari pengalaman pahit bukanlah hal yang mudah. Sebuah pengalaman pahit bisa terjadi jauh sebelum hari ini, misalnya belasan tahun yang lalu tetapi rasa sakitnya masih terasa hari ini. Enid Vazquez, seorang konselor HIV pernah mengatakan bahwa setiap orang membutuhkah support systematau sistem bantuan. Semakin berkualitas support system tersebut, kita akan menjadi lebih baik. Jadi, mari memperbanyak support system yang memungkinkan lebih banyak orang bisa menjadikan pengalaman pahitnya sebuah pelajaran yang berharga!


(Dhitta Puti Sarasvati, Associate Kail)



[1] http://www.Huffingtonpost.Com/wray-herbert/self-reflection_b_881461.Html





































Kamis, 02 Juli 2020

[Jalan-Jalan] Pendidikan Seni di Kuba : Pendidikan Seni Untuk Semua

Oleh: Dhitta Puti Sarasvati
Anita tinggal di Jakarta. Dia suka menari. Untuk menyalurkan hobinya dia mengikuti sanggar tari dan berlatih dua kali seminggu. Biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengikuti sanggar adalah Rp 250.000,- per bulan. Harga tersebut tidak terlalu mahal dibandingkan tempat-tempat kursus menari lainnya.  Dengan harga tersebut dia sudah bisa berlatih dibimbing oleh seorang guru profesional.

Kini sudah 9 tahun Anita berlatih menari.  Anita tahu bahwa dia bukanlah penari yang paling jago. Teman-temannya yang lain lebih lentur juga lebih lincah dalam menari. Terkadang Anita pun lupa gerakan dari tariannya. Pasti dia tidak akan jadi penari profesional. Meskipun begitu, dia akan terus menari. Kalau bisa seumur hidupnya. Dengan begitu dia bisa terus menjaga kebugaran sekaligus bersenang-senang. Yang paling penting, dengan menari Anita merasa lebih hidup. Emosinya tersalurkan, ada tempat baginya untuk melepas pikiran dan berkonsentrasi pada alunan musik dan gerakan tubuh. Dengan menari,

hatinya ikut menari, begitu jua hidupnya. Sayangnya tidak seluruh orang punya kesempatan seperti Anita. Mampu belajar seni sekadar buat bersuka cita.

Tidak semua orang akan berprofesi sebagai seniman. Tapi seni punya peranan yang sangat penting bagi manusia, termasuk bagi orang-orang yang tidak bekerja di bidang seni.  Pernah mendengar musik yang lirik  atau melodinya menyentuh hati? Pasti pernah kan? Ada juga musik yang membuat kita sedih, bahagia, bahkan bersemangat. Selain musik, bentuk seni yang lain seperti lukisan, tarian, teater dan sebagainya bisa mempengaruhi emosi kita. Dengan bersentuhan dengan seni, kita bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Itu menggambarkan bahwa seni begitu penting bagi kehidupan manusia.


Bagaimana memperkenalkan seni kepada orang banyak? Salah satunya adalah melalui pendidikan seni. Pendidikan seni memang tidak harus selalu ditujukan untuk mempersiapkan seseorang menjadi seniman atau pekerja seni. Justru, pendidikan seni harus bisa dinikmati oleh orang banyak. Pendidikan seni tidak boleh mahal agar semuanya bisa ikut belajar.  Tujuannya adalah menjadikan manusia lebih manusiawi melalui perantara seni.





La Colmenita (Teater  Anak-anak Kuba) adalah sebuah lembaga pendidikan seni di Kuba. Didirikan pada tahun 1976 oleh Carlos Alberto Cremata.  Awalnya, La Colmenita hanyalah komunitas kecil di Havana. Di sanalah anak-anak maupun orang dewasa berkumpul dan berlatih teater. Proses latihan biasanya pada sore hari, sepulang anak-anak sekolah. Pada perkembangannya La Colmenita kemudian dikhususkan untuk anak-anak usia 6 sampai 16 tahun. Kini sejumlah 22 cabang La Colmenita tersebar di berbagai daerah lainnya di Kuba.  Di sana anak-anak belajar teater, bernyanyi, menari, termasuk belajar mempersiapkan pertunjukan seni.


La Colmenita tidak bertujuan mempersiapkan anak-anak menjadi pemain theater profesional. Tempat itu merupakan tempat anak-anak bisa belajar bekerja sama, merasakan kehangatan, serta mengembangkan kreativitas. Menurut Carlos, "Anak-anak tidak mau menjadi pemain teater, mereka ingin bermain peran." Melalui kegiatan bermain peran, maupun tari dan musik, anak-anak bisa mengembangkan kreativitas sehingga potensi mereka bisa berkembang. Mereka akan menjadi manusia yang lebih baik, sebagai individu maupun kelompok. (Stories by Deisy Francis Mexidor dalam http://axisoflogic.com/artman/publish/Article_63919.shtml  )


Di Indonesia, nir semua anak bisa belajar seni menurut seorang pengajar seni profesional. Jumlah guru seni profesional sangat terbatas. Akibatnya hanya anak-anak tertentu yg bisa mengakses mereka. Mungkin karena mereka akbar di lingkungan seniman, atau mereka punya uang yang memadai buat membayar guru seni.


Di Kuba, pengajar seni dipersiapkan dengan sangat serius. Ada sekolah khusus buat calon guru seni di masing-masing provinsi. Siswa-murid berusia 14 tahun masuk ke sekolah ini buat belajar menjadi calon pengajar seni. Tahun 60-an, Fidel Castro, pemimpin Kuba ketika itu memang pernah mengumpulkan artis buat mendorong terpromosikannya seni musik, seni tari & seni visual sebagai akibatnya sanggup dijangkai oleh anak-anak di daerah terpencil sekaligus. Salah satunya merupakan melalui pendidikan seni pada sekolah. Hal ini dilakukan karena seni dipercaya sanggup mendorong terjadinya perubahan sosial.


Dhitta Puti Sarasvati
Dhitta Puti Sarasvati adalah associate KAIL. Sejak 2002 kegiatannya poly terkait bidang pendidikan, mulai berdasarkan mengajar pada sekolah, forum kursus, perguruan tinggi, juga memfasilitasi berbagai pembinaan pengajar. Kini aktif pada Ikatan Pengajar Indonesia.




























Rabu, 24 Juni 2020

[MEDIA] Memperjuangkan Kebenaran : Kisah di Balik Pembuatan Film “Temani Aku Bunda”

Oleh: Dhitta PutiSarasvati (Associate KAIL)


Di bulan Mei tahun 2011, Abrar harus mengikuti sebuah hajatan besar yang diselenggarakan oleh orang dewasa. Selain Abrar, ada hampir lima juta anak lainnya, siswa-siswa SD kelas 6 (Kemendikbud, 2011/2012) yang harus mengikuti hajatan yang sama. Hajatan tersebut bernama Ujian Nasional (UN).


Untuk menghadapi UN, anak menjadi semakin sibuk. Jam belajar mereka di sekolah bertambah. Sesekali mereka menginap di sekolah untuk  melakukan istighosah, shalat malam, dan berdoa bersama menghadapi UN. Tak jarang mereka juga mengikuti bimbingan test.  Bermaknakah kegiatan-kegiatan tersebut? Tidak juga.


Jam belajar anak ditambahkan tapi yang dipelajari hanya latihan soal, biasanya berupa pilihan ganda. Anak bukan didorong untuk belajar mengobservasi alam, mencari data dari sekitar, membuat penelitian, membuat karya seni, membaca karya sastra bermutu ataupun menulis karya sendiri.  Kegiatan istighosah yang dilakukan sebelum menghadapi UN seakan-akan melihat UN sebagai sesuatu yang sakral. Siswa dilelahkan dengan kegiatan bimbingan test sehingga tak sempat lagi menjaga kebugaran tubuh dengan berolah raga, mengasah jiwa dengan kegiatan kesenian, maupun terjun ke masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial. Penalaran pun tak diasah karena siswa hanya sibuk mengerjakan soal-soal yang menguji kemampuan berpikir tingkat rendah seperti hapalan.


UN menyebabkan kehidupan anak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak bermakna Itu saja sudah menyedihkan. Namun, apa yang terjadi pada Abrar jauh lebih menyedihkan lagi. Demi UN, Abrar dipaksa untuk melawan kata hatinya sendiri.


Dalam sebuah film berjudul “Temani Aku Bunda” yang dibuat oleh Yayasan Kampung Halaman, digambarkan bagaimana Abrar dipaksa gurunya untuk menandatangani sebuah surat kesepakatan. Surat kesepakatan tersebut bertujuan agar kecurangan UN yang terjadi di sekolahnya tidak diketahui oleh orang lainnya. Dalam film tersebut Abrar menyampaikan isi dari surat kesepakatan tersebut. Isinya sebagai berikut:
 “Saya berjanji tidak memberitahukan apapun yang terjadi saat UN sampai dewasa. Bila saya membocorkan rahasia ini, saya akan mendapatkan hukuman yang berat.


Abrar sendiri ingin jujur. Dia tidak ingin terlibat dalam kecurangan UN dan kata hatinya menyatakan bahwa ada yang salah dengan surat kesepakatan tersebut. Kenapa anak-anak harus diminta menandatangani surat kesepakatan untuk tidak sesuai kata hati mereka?


Berdasarkan kesadarannya sendiri, Abrar memutuskan untuk melanggar kesepakatan tersebut. Dia menceritakan apa yang terjadi di sekolahnya kepada ibunya. Kisahnya pun akhirnya didengar juga oleh masyarakat yang lebih luas melalui film Temani Aku Bunda.


Konsekuensinya? Abrar memang mendapatkan hukuman yang berat. Tak jarang Abrar diejek sebagai “sok pahlawan” oleh guru dan teman-temannya sendiri. Pernah Abrar diancam untuk tidak diterima di sebuah SMP negeri karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah dan secara tidak langsung juga mencemarkan nama baik pendidikan di DKI Jakarta.


Apa yang terjadi pada Abrar pada dasarnya adalah bentuk-bentuk kekerasan pada anak. Meskipun bukan kekerasan fisik, hal-hal seperti memaksa anak menandatangani kesepakatan yang tidak disetujuinya, mengejek anak, maupun mengancam anak, merupakan bentuk-bentuk kekerasan verbal maupun psikologis.

***
Apa yang dilakukan Ibu Winda Lubis (ibunda dari Abrar) dalam menghadapi kasus di atas? Ada banyak. Pertama, beliau berbicara dari hati ke hati dengan anaknya. Tujuannya adalah agar beliau bisa lebih memahami isi hati anaknya. Yang Abrar inginkan sebenarnya sederhana. Abrar hanya ingin jujur. Abrar juga merasa tidak diperlakukan dengan adil.


Berikutnya Ibu Winda Lubis mendatangi pihak sekolah, meminta kejelasan mengenai kasus tersebut.. Menanyakan pihak sekolah mengapa kasus tersebut bisa terjadi. Beliau juga mendatangi berbagai pihak lain, termasuk Dinas Pendidikan DKI, Wakil Gubernur DKI, Komisi Perlindungan Anak, dan beberapa tokoh pendidikan untuk meminta kasus tersebut diusut. Sampai kini, kasus tersebut belum diusut secara tuntas, dan Ibu Winda terus memperjuangkannya.

Yayasan Kampung Halaman meminta izin Ibu Winda untuk membuat film dokumenter mengenai kasus Abrar. Awalnya, Ibu Winda menolak, tapi kemudian mengizinkan Yayasan Kampung Halaman untuk membuat film tersebut. Baginya, itu kesempatan untuk menyuarakan beberapa hal yang esensial. Di antaranya mengenai perlindungan anak di Indonesia yang masih lemah juga mengenai carut marut sistem pendidikan Indonesia, termasuk sistem UN.

Saya sempat menceritakan perjuangan Ibu Winda Lubis kepada seorang orang tua. Katanya, “Kalau saya menjadi orang tua dari Abrar, saya tidak akan melakukan itu. Dengan ‘bersuara’ itu berarti menempatkan anak saya pada posisi yang beresiko. Bisa saja dia kesulitan melanjutkan sekolah, di-bully, dan masa depannya jadi hancur. Saya akan lebih memilih untuk mengabaikan sistem dan menyekolahkan anak saya di sekolah yang mau menerimanya, sekolah swasta, misalnya. Kenapa mau menempatkan anaknya sendiri dalam resiko yang begitu besar?”


Ibu Winda Lubis memang akhirnya memilih untuk “tidak bermain aman”. Apa yang dilakukkannya memang perlu keberanian. Beliau tahu bahwa dengan menyuarakan apa yang terjadi pada anaknya, akan banyak tantangan yang dihadapi. Akan ada banyak pihak yang tidak suka, Ibu Winda dan juga anak-anaknya pasti akan mendapat tekanan dari berbagai pihak baik dalam bentuk ejekan, ancaman, dan sebagainya baik dari teman-teman sekolah anakny baik dari beberapa guru dan orang tua, dinas pendidikan, dan sebagainya. Untungnya Ibu Winda Lubis dan anaknya telah berkomunikasi dari hati ke hati. Ibu Winda menjelaskan kepada anaknya bahwa perjuangan yang dilakukan bukanlah perjuangan yang mudah. Abrar sendiri, pernah menyampaikan kepada ibunya bahwa dia tidak ingin ibunya menyerah. Ibunya harus tetap berjuang untuk memperjuangkan apa yang dirasa benar. Abrar pun begitu, terus memperjuangkan nilai-nilai yang memang diyakininya. Sungguh mengagumkan bahwa anak yang masih begitu muda bisa seberani dan setegar itu menghadapi semua tantangan yang terjadi.


Dalam diskusi Film “Temani Aku Bunda” yang diselenggarakan di rumah KAIL pada 1 Juni 2014 yang lalu, Ibu Winda sempat menyampaikan bahwa suaranya disampaikan bukan demi kepentingan anaknya semata, tapi juga demi kepentingan anak-anak Indonesia yang lainnya. Banyak juga anak-anak lainnya juga mengalami hal yang dialami Abrar namun mereka tidak punya kesempatan untuk bersuara. Semua anak di Indonesia seharusnya tidak mengalami hal-hal seperti itu. Di sisi lain, Ibu Winda sebenarnya juga mengajak para orang tua untuk lebih ‘melek’ terhadap sistem persekolahan yang ada di Indonesia. Bahwa ada banyak yang perlu diperbaiki dan pada dasarnya orang tua bisa bersatu untuk memberikan tekanan untuk mendorong pemerintah dalam memberikan lingkungan pendidikan yang lebih layak bagi semua anak. “Orang tua sebenarnya punya kekuatan yang sangat besar,” kata Ibu Winda Lubis saat itu.


Di satu sisi, Ibu Winda Lubis mungkin terlihat ‘egois’ karena perjuangannya menempatkan anaknya dalam menghadapi resiko yang besar. Namun, kalau dilihat dari sisi lainnya, Ibu Winda sebenarnya mencontohkan keberanian, kegigihan, dan kepeduliannya yang tinggi terhadap hak anak dan pendidikan pendidikan. Beliau peduli, bukan hanya pada hak dan pendidikan anaknya sendiri tapi juga hak dan pendidikan anak-anak lain yang ada di Indonesia.














































Selasa, 16 Juni 2020

[MASALAH KITA] Keluarga Aktivis, Aktivisme, dan Kasih Sayang

Oleh: Kontributor Pro:aktif Online


Sumber gambar:
http://moeslema.com/kontes-my-familiy-my-inspiration/
Buat saya seorang aktivis adalah sesorang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apa yang menjadi concern  seorang aktivis bisa bervariasi baik dari isu lingkungan, masalah keadilan sosial, isu pendidikan, dan sebagainya. Cara memperjuangkannya juga bisa berbeda-beda. Ada yang aktif di LSM, ada yang merancang gerakan politik, ada yang menjadi relawan di berbagai tempat, ada yang menulis melalui media, dan sebagainya.  Yang jelas, bagi seorang aktivis, apa yang diperjuangkannya  lebih dari sekedar untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas.


Saya sendiri nir tahu apakah mampu mendefinisikan famili saya sebagai keluarga aktivis atau bukan. Yang jelas, tidak semua anggota keluarga saya merupakan aktivis. Kedua saudara termuda saya merupakan profesional di bidang masing-masing. Yang satu jadi wiraswasta & yang lain bekerja menjadi seseorang arsitektur pada sebuah perusahaan. Namun, kentara kedua orang tua saya adalah seseorang aktivis. Tetapi aktivitas Bapak juga Ibu (Almh) sedikit tidak sinkron.


Ibu saya sebenarnya dulu seorang arsitektur profesional. Namun, sejak muda beliau punya ketertarikan terhadap bidang-bidang sosial. Ketika masih mahasiswa beliau menghabiskan waktu luang menjadi reader tuna netra, mengurus anak-anak di panti asuhan, mengumpulkan darah untuk donor darah, dan sebagainya. Ketika beliau sudah berkeluarga dan berkarir, beliau tetap menyempatkan waktu untuk berkegiatan sosial, baik dengan mengedarkan dan merancang sistem pendistribusian buku bacaan untuk anak jalanan, membantu mendirikan taman bacaan, menyumbang pemikiran untuk mengurus pengungsi di Poso, dan ikut terbang ke daerah konflik untuk menghibur anak-anak yang ada di sana.
Lalu, suatu hari beliau terkena kanker. Beliau kemudian  mendirikan Cancer support group untuk saling mendukung sesama penderita kanker baik dengan memberikan informasi mengenai kanker, saling menyemangati, ataupun menemani mereka saat akan melakukan kemoterapi. Meskipun bekerja sebagai seorang profesional, saya bisa mengatakan bahwa ibu saya adalah seorang aktivis karena dengan sengaja berpartisipasi aktif untuk menjadikan dunia lebih baik.

Bapak saya, jelas adalah seorang aktivis. Saat masih menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai dari merancang balai pengobatan untuk mahasiswa, mengkampanyekan gerakan anti kebodohan, menuliskan buku putih untuk menentang pemerintahan Soeharto sampai akhirnya beliau dipenjara. Selama beliau dipenjara, ibu saya mengunjunginya setiap hari sambil membawa makanan dan kliping berisi tulisan dan gambar terkait isu-isu kemanusiaan dari koran untuk menghibur Bapak selama di penjara.  Setelah keluar dari penjara, beliau memilih menjadi akademisi dan peneliti. Namun, jiwa aktivismenya tidak pernah pudar. Sampai kini pun, beliau masih terus bergerak dengan berbagai cara (demonstrasi, menulis, mengorganisir gerakan, dsb) untuk menjadikan Indonesia lebih baik.


Seperti apa rasanya tinggal pada keluarga pada mana kedua orang tua merupakan aktivis? Menurut aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mungkin ada beberapa hal yg nir lazim terjadi pada keluarga lain, pada antaranya tamu yang terus menerus tiba ke rumah, adanya ancaman menurut pihak luar, dan ketika bersama famili yang terbatas.


 Teman aku menikahi seorang aktivis & pernah bercerita bahwa poly tamu di rumahnya. Saking seringnya terdapat orang yang menginap, anaknya yang berusia dua tahun sangat terbiasa tinggal beserta orang selain keluarga. Hal yg sama juga terjadi di keluarga saya. Ibu saya pernah bercerita, bahwa ketika aku bayi, tamu yg datang ke rumah nir habis-habisnya. Kopi, teh, & gula wajib selalu tersedia. Piring & gelas pun terus menerus harus dicucui. Tamu bukan hanya banyak, tetapi pula mampu berkunjung dari pagi sampai malam hingga pagi lagi, umumnya mereka tiba buat mendiskusikan aneka macam hal.


Ketika saya mulai remaja, bapak saya sudah punya kantor sendiri sehingga sebagian tamu beralih bertamu ke kantor tersebut. Sebagian lagi bertamu ke rumah.  Sebenarnya, kedatangan tamu-tamu tersebut sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya terbiasa berhubungan dengan berbagai jenis orang dari berbagai latar belakang. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan politisi, wartawan, pemimpin organisasi (buruh, keagamaan, lingkungan, dsb), penulis, mahasiswa, dan sebagainya. Biasanya tamu-tamu tersebut diajak makan bersama keluarga saya. Di meja makan itulah mereka mendiskusikan berbagai hal dari isu kemanusaiaan, politik, ekonomi, sampai isu kenegaraan. Biasanya saya hanya jadi pendengar saja tapi itu saja menyenangkan. Tanpa disadari wawasan bertambah.


Tentu saja, meskipun banyak teman, seorang aktivis tidak selalu disukai orang lain. Kegiatan aktivisme seringkali dianggap mengancam penguasa. Waktu kecil dulu, beberapa kali saya mendapat telepon berisi ancaman pembunuhan. Usia saya masih 7 atau 8 tahun saat itu. Waktu itu tentu saja ada rasa takut pada pada hati. Tapi lama -lama aku cuek saja. Tetapi, secara umum, saya merasa ancaman yang terjadi pada keluarga saya tidak separah famili-keluarga aktivis lain. Saya pernah mendengar berdasarkan bapak, seorang temannya, perempuan beranak 2, rumahnya dilempari bangkai anjing. Itu masih belum parah, ada beberapa anak berdasarkan keluarga aktivis yang harus kehilangan orang tuanya karena diculik ataupun dibunuh penguasa. Karena memahami resiko-resiko semacam ini, ke 2 orang tua selalu meminta aku hati-hati, nir asal-asalan bicara. Mereka mengajari saya bahwa kadang insan sanggup menjadi kejam, tapi itu nir berarti kita harus kehilangan kemanusiaan.


Karena kedua orang tua bekerja sambil menjadi aktivis, sebenarnya mereka banyak berpergian dan kadang pulang larut malam. Hal itu wajar karena selain mencari nafkah, mereka juga banyak sekali kegiatan baik berdiskusi, berkegiatan bersama masyarakat, mengorganisir massa, melakukan aksi, berkeliling Indonesia, dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian keluarga, hal seperti ini tidak wajar. Penting sekali untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama keluarga. Namun, saya tidak melihatnya begitu. Meskipun ibu dan bapak tidak selalu di rumah, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang mereka. Sejak saya kecil saya tahu bahwa mereka di luar rumah untuk melakukan kebaikan.  Saya selalu tahu, bahwa setiap langkah dalam hidup mereka selalu digerakkan oleh kasih sayang.



Sumber gambar: http://www.believeoutloud.com/latest/love-based-activism
Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang. Ketika kita melakukan kebaikan bagi sesama manusia, hati kita akan semakin dilimpahi dengan kasih sayang. Kasih sayang ini akan dirasakan oleh siapapun yang ada di sekitar kita, termasuk keluarga. Kedua orang tua saya adalah orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk orang lain. Untuk orang lain saja, kasih sayang mereka melimpah, apalagi untuk anak-anaknya. Meskipun tak selalu di rumah, kasih sayang ini selalu terasa. Tidak habis-habisnya.


Rasanya akan sangat sulit menjadi aktivis kalau tidak punya rasa kasih sayang yang melimpah. Karena menyayangi alam, seorang aktivis lingkungan tidak akan lelah berjuang agar alam ini bisa terjaga keberlangsungannya. Karena menyayangi setiap manusia, seorang aktivis kemanusiaan rela berkorban agar keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan.  Seorang aktivis bisa saja menjalani hidup yang ‘tidak selalu lazim’. Namun apa yang membuat bertahan adalah sesuatu yang sangat mendasar, kasih sayang.




























Kamis, 28 Mei 2020

[MASALAH KITA] MENGHADAPI KEBERAGAMAN SESAMA AKTIVIS

Oleh: Dhitta Puti Sarasvati

Tasya sangat tertarik dengan isu perempuan. Ketertarikannya ini membuatnya bekerja di sebuah LSM yang fokus pada pemberdayaan perempuan, khususnya dalam bidang ekonomi. Sehari-hari Tasya menghabiskan waktunya untuk melatih sekelompok ibu di sebuah kampung untuk menghasilkan produk yang bisa dijual seperti keset dari kain bekas, agenda yang dibuat dari kertas daur ulang, dan sebagainya. Kebetulan, Tasya memperoleh dukungan dari sebuah supermarket retail. Tasya boleh menitipkan karya-karya ibu-ibu di supermarket tersebut. Tasya berasumsi bahwa dengan mendukung ibu-ibu agar memiliki penghasilan sendiri, maka ibu-ibu tersebut akan lebih berdaya.

Suatu hari ada sebuah forum di mana aktivis-aktivis isu perempuan berkumpul. Tasya berkenalan dengan Juwita. Dengan semangatnya Tasya menceritakan apa yang dikerjakannya bersama ibu-ibu di kampung.

Juwita pun menanggapi, “Punya penghasilan tambahan tidak serta merta membuat perempuan berdaya. Saya pernah menemukan kasus di mana perempuan menghasilkan uang lebih banyak dari suaminya. Uangnya diambil, lalu digunakan untuk mabuk-mabukan. Perempuan tetap menderita. Lagi pula, dengan menitipkan produk itu di supermarket, yang diuntungkan adalah supermarket-supermarket itu. Mereka dapat produk dengan biaya murah, lalu dijual dengan harga yang cenderung tinggi. Yang untung? Pemilik modal. Perempuan perlu dibekali pengetahuan yang memungkinkannya melawan sistem patriarkisme dan kapitalisme yang mengekang mereka.” Ilustrasi di atas menggambarkan contoh dua orang aktivis yang merasa bergerak di isu yang sama, tapi sebenarnya berbeda. Walau keduanya sama-sama peduli pada isu pemberdayaan wanita, namun berbeda pandangan mengenai cara untuk membuat mereka lebih berdaya. Hal yang sama bisa terjadi di bidang lain. Ada aktivis pendidikan yang sangat peduli pada pengajaran nilai moral. Baginya, anak harus dibekali dengan kisah-kisah yang mencontohkan kebaikan. Di sisi lain, ada aktivis pendidikan yang merasa anak boleh dibekali dengan bacaan apa saja, yang penting anak diajak berpikir kritis sehingga bisa mengkritisi apapun yang bisa dibaca. Ada aktivis lingkungan yang tidak keberatan memperoleh pendanaan dari lembaga-lembaga internasional untuk kampanye menyelamatkan lingkungan. Di sisi lain, ada aktivis lingkungan yang lebih percaya untuk membangun kekuatan lokal dengan mengajak masyarakat hidup dari apapun yang dimilikinya, meskipun tanpa ‘bantuan luar’.

Dulu, ketika awal menjadi aktivis, dengan lugunya saya pikir semua aktivis sama saja. Yang membedakan hanya ‘fokus isu yang diperjuangkan’. Ada aktivis pendidikan, lingkungan, perempuan, kesehatan, dan banyak lagi. Tujuan yang mau dicapai sama saja. Semua ingin menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik.

Belakangan, saya baru sadar bahwa ‘dunia yang lebih baik’ bagi satu orang bisa sangat berbeda dari ‘dunia yang lebih baik’ menurut orang lain. Ada juga aktivis-aktivis yang punya gambaran serupa tentang ‘dunia yang lebih baik’. Tujuan yang mau dicapai serupa tetapi pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Misalnya, ada yang percaya pada peran negara. Sebaliknya, ada yang cenderung mengabaikan peran negara.

Suasana pertemuan peningkatan kapasitas LSM-LSM di Sumba, bulan Mei 2015, yang difasilitasi oleh KAIL bekerjasama dengan HIVOS. Beragam jenis aktivis, beragam tujuan dan cara masing-masing dalam memperjuangkan keberpihakan mereka. Sumber foto : KAIL

Menghadapi aktivis-aktivis yang berbeda tujuan, ideologi ataupun cara, bukanlah hal yang mudah. Sebagai contoh, dari dulu saya tidak bisa menerima penggusuran paksa. Ini berpengaruh pada pilihan politik saya ketika pilkada belakangan ini. Saya tidak setuju dengan calon pemimpin yang melakukan penggusuran paksa tetapi juga tidak percaya dengan calon lainnya. Saya memilih menjadi golput. Beberapa teman aktivis menuduh saya tidak berpihak pada rakyat karena tidak memilih pemimpin yang dianggap bisa membuat Jakarta lebih baik. Terlepas benar atau tidaknya, pilihan politik saya dilakukan dengan sadar. Tapi, mungkin tidak semua orang bisa mengerti.

Memilih menjadi aktivis, berarti berani untuk menghadapi perbedaan. Kita pasti akan bertemu atau berhadapan dengan orang-orang yang menentang pandangan kita, termasuk sesama aktivis. Bagaimana menghadapinya?

Pertama, berdialoglah dengan terhormat. Berdebat tentang isu yang kita pedulikan di forum diskusi itu sah-sah saja. Namun, biasakan fokus pada isu. Perkaya argumen kita dengan data dan analisis. Jangan menyerang pribadi lawan. Berdialoglah dengan terhormat. Sekalipun perdebatan akhirnya menjadi panas, namun tetap gunakan bahasa yang sopan dan tidak merendahkan lawan bicara Kedua, ada kalanya kita harus bersepakat untuk tidak bersepakat. Ketika dialog hanya menghasilkan jalan buntu, mungkin kita harus menyimpan energi kita untuk hal-hal lain yang lebih penting. Tidak semua dialog harus berakhir dengan para peserta memiliki sikap dan pandangan yang sama. Dialog sekalipun harus tetap memberi tempat pada adanya perbedaan. Pilih untuk bersepakat untuk tidak bersepakat tapi teruskan perjuangan dengan strategi berbeda.

Berjejaring antar aktivis membutuhkan dialog. Dialog memberi tempat pada keberagaman pendapat dan pikiran.

Sumber foto : KAIL

Ketiga, akui bahwa kita tidak tahu segalanya lalu belajar lagi. Tidak ada manusia yang tahu segalanya. Akui ini. Berendah hati bahwa ‘kita tidak tahu’ memungkinkan kita untuk belajar kembali. Buka lagi berbagai bacaan terkait, berdialoglah dengan orang yang sejalan maupun berseberangan dengan kita. Ujilah apa yang selama ini kita percaya. Ketika ada yang berbeda dengan kita, anggap itu kesempatan untuk memperdalam pemahaman.

Terakhir, perbedaan tidak boleh membuat kita memperlakukan orang lain semena-mena. Tetaplah baik hati. Seperti yang dikatakan oleh Dalai Lama ke-14, “Baik kepada orang yang percaya pada agama atau tidak, kepada orang yang percaya reinkarnasi atau tidak, tidak ada satupun [manusia] yang tidak menghargai kebaikan hati dan belas kasih.”

Beragam cara aktivis dapat dilakukan untuk memperjuangkan keberpihakan, salah satunya adalah melalui musik. Grup Rupa Bumi, saat memainkan musik mereka di kegiatan Ulang Tahun KAIL 2016.

Cloud Hosting Indonesia