Tampilkan postingan dengan label Deta Ratna Kristanti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Deta Ratna Kristanti. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Juni 2020

[JALAN-JALAN] Mengunjungi Pengrajin Kreasi Perca Dampingan Dwaya Manikam

Oleh: Deta Ratna Kristanti
Foto: dokumentasi Penulis


Pada suatu Jumat siang yang agak mendung di Kota Bandung, aku menaiki angkutan umum dari Jalan Supratman ke arah Jalan Ahmad Yani. Di Jalan Ahmad Yani, aku kemudian berganti angkutan yang menuju ke wilayah Cicadas. Saya turun pada depan sebuah jalan kecil, Jalan Asep Berlian. Saya masuk ke jalan tadi, dan sinkron petunjuk pesan pada telepon seluler aku , saya menuju ke satu alamat: Gang Proklamasi Nomor tiga.
Alamat tujuan membawa aku ke sebuah bangunan sederhana serba hijau. Hanya ada satu ruangan seluas sekitar lima x 6 meter menggunakan teras mini , mirip kantor RW atau posyandu. Saya longok ke dalam, ada 2 orang ibu yang sedang berdiskusi. Segera aku mengucapkan salam, lalu masuk. Saya kemudian berkenalan menggunakan keduanya: Bu Ani dan Bu Nani.


Bu Ani & Bu Nani ternyata sedang menjahit pola-pola batik berbentuk hexagonal sebagai sebuah rangkaian. Untuk apa? Ternyata buat dijadikan corak sampul kain pembungkus buku notes. Semuanya berdasarkan kain perca. Wah, kok mampu sekreatif itu ya mak -ibu ini? Dari mana muncul ilham memanfaatkan perca kain buat membuat sampul kitab ?



Foto: dokumentasi Penulis



Tak lama kemudian tiba 2 orang mak lagi. Yang seseorang bernama mak Iyam, yang satunya dipanggil Ibu Mamah. Ibu Mamah ini tinggal di Cicalengka, menempuh bepergian lebih menurut satu jam untuk sampai pada tempat ini. Setelah kedatangan kedua ibu ini, mereka membandingkan output kerja masing-masing, mendiskusikannya sembari tangan mereka terus menjahit. Mereka masih menunggu kedatangan teman mereka dan seorang yg mereka tunggu-tunggu.


Tak lama kemudian, datanglah seseorang yg mereka tunggu-tunggu. Seorang anak muda bernama Fajar Ciptandi. Rupanya Fajarlah yang mengarahkan dan membimbing grup mak -ibu ini untuk berkreasi menggunakan perca-perca kain. Lewat Fajar juga terkadang mak -mak ini menerima pesanan pembuatan kerajinan tangan menurut perca-perca kain, seperti waktu ini, sampul buku bercorak heksagonal pesanan mahasiswa ITB. Jika sedang nir ada pesanan, para ibu ini membuat asesoris, demikian Fajar menyebutkan lalu.



Foto: dokumentasi Penulis



Kehadiran Fajar membuat ibu-ibu segera memberondongnya dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan masing-masing, misalnya:  “Fajar, ini teh kok ukurannya beda ya,” “Jar, aku teh belum selesai jahit ini..”. Fajar menanggapi dengan senyum dan sabar satu persatu pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, sambil kadang berkelakar. Fajar tampak paham betul bagaimana gaya dan pola kerja ibu-ibu ini. Meskipun waktu pengerjaan pesanan tinggal satu minggu, dan pekerjaan yang harus diselesaikan masih banyak, Fajar percaya bahwa ibu-ibu ini dapat menyelesaikan semuanya tepat waktu. Satu per satu kesulitan ibu-ibu ini ia carikan solusinya.


Tiba-tiba seseorang mengucap salam, “Assalamualaikuuum..!” Seorang ibu berkerudung putih datang. Fajar langsung memperkenalkan saya pada Ibu Ida. Sosok ibu yang satu ini lincah dan bersemangat. Bu Ida yang bersemangat langsung menghidupkan suasana dengan cerita-ceritanya. Lengkaplah sudah kelompok ibu-ibu yang berkumpul hari ini. Lima orang semuanya.


Di bawah bimbingan Fajar, sudah hampir dua tahun, kelima ibu ini – kadang berenam-- berkumpul rutin seminggu sekali untuk belajar berkreasi dengan perca kain. Ibu Ani, yang ditunjuk sebagai ketua kelompok, sehari-harinya adalah kepala PAUD Anggrek, tempat yang sekarang digunakan ibu-ibu ini berkegiatan. Pagi mengurus PAUD, siang menjadi ibu rumah tangga. Sedang Ibu Nani, adalah sepenuhnya ibu rumah tangga. Anak-anak Bu Nani sudah cukup besar, sudah ada yang menuntut ilmu di bangku kuliah dan satu lagi sudah di SMK.  Bu Iyam lain lagi. Usianya lebih tua dari yang lain. Sehari-hari, kegiatan Bu Iyam mengurus cucu – mengantar dan menjemputnya di sekolah. Sedangkan Bu Mamah, menurut teman-temannya, aktif berbisnis. Ibu Ida, sekarang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Anaknya yang pertama baru masuk kuliah, dan yang kedua duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Menurut Bu Ida, semasa mudanya, ia bekerja di bagian administrasi sebuah pabrik, jadi dia paham tentang pencatatan keuangan. Karena itulah di kelompok inipun, Ibu Ida ditunjuk sebagai pengurus keuangan, kas tabungan ibu-ibu.


Lalu, siapakah Fajar Ciptandi? Pemuda kelahiran 6 Desember 1986 ini adalah seorang mahasiswa Magister Desain ITB yang juga seorang dosen Program Studi Kriya Tekstil dan Mode di Universitas Telkom Bandung. Fajar  merupakan salah satu  Young Changemaker Ashoka tahun 2012. Berkarya dengan kain sudah bertahun-tahun ia tekuni, karena ia juga memiliki sebuah usaha asesoris  kain dan batik bernama Dwaya Manikam. Tahun 2013, Dwaya Manikam mengadakan Dwaya Manikam Start Empathy  yang merupakan sebuah program sosial untuk pemberdayaan komunitas melalui pelatihan peningkatan kapasitas untuk mengubah bahan mentah menjadi produk yang bernilai lebih tinggi (lihat dwayamanikam.blogspot.com). Komunitas yang didampingi oleh Tim Dwaya Manikam adalah ibu-ibu yang ada di daerah Dayeuh Kolot dan Cicadas.


Kelompok Ibu Ani & mitra-kawan merupakan galat satu grup ibu yang didampingi Tim Dwaya Manikam yang bertahan sampai saat ini. Menurut Fajar, pada daerah Cicadas sebetulnya terdapat beberapa gerombolan bunda yang beliau dampingi, loka kegiatannya bhineka. Dalam seminggu, Fajar mengatur jadwal buat mengunjungi gerombolan bunda yang berbeda. Kalau begitu, mengapa tidak disatukan saja?


“Setiap kelompok ibu sudah cocok dengan anggota kelompoknya, sudah kayak se-gank gitu, “ imbuh Fajar, “Jadi daripada disatukan malah nggak cocok, ya mendingan saya saja yang ke sana kemari.” Pernyataan ini diamini Ibu Ani dkk. “Pokoknya kita mah udah cocok banget deh, nggak pernah berantem!” kata Ibu Ida dan Ibu Mamah saling menimpali. Ya, mereka memang sudah akrab sekali. Sambil bekerja mereka saling bercerita, kadang curhat pada Fajar tentang kehidupan sehari-hari mereka.


Di Gang Proklamasi, juga ada  ibu-ibu lain. Awalnya banyak  ibu  mengikuti kegiatan berkreasi dengan perca kain ini. Namun seiring berjalannya waktu, hanya segelintir ibu itu saja yang bertahan untuk terus menekuni kegiatan ini. Menurut Ibu Ani dkk, mereka sudah berusaha mengajak ibu-ibu yang lain untuk kembali terlibat, tapi mereka tidak datang lagi. Menurut Ibu Ani dkk., mungkin ibu-ibu yang lain  belum melihat manfaat dari kegiatan ini. Bagi Bu Ani dkk., kegiatan ini berguna, untuk menambah pemasukan, bisa saling berbagi serta mengisi waktu luang mereka sebagai ibu rumah tangga.



Foto: dokumentasi Penulis



Cita-cita Ibu Ani dkk. Ke depan adalah mempunyai sebuah unit bisnis yang sanggup berjalan rutin, contohnya membuka warung atau berjualan pulsa. Tetapi, mereka masih berjuang mengumpulkan modal sedikit-sedikit menurut hasil menciptakan ciptaan perca kain. Ibu Ani dkk. Konfiden, suatu ketika nanti, mereka sanggup memperoleh penghasilan mandiri menurut kreasi kain perca yg mereka untuk ketika ini.

















































Kamis, 18 Juni 2020

[PROFIL] Ayah ASI Bandung

Oleh: Deta Ratna Kristanti



Sumber gambar: https://roisz.wordpress.com/2014/01/25



dua-tahun-aab/
?Meningkatkan kesadaran akan peran ayah melalui cara ayah.? Itulah yg dilakukan Idzma Mahayattika & sahabat-teman melalui gerakan Ayah ASI Bandung. Dengan adanya gerakan ini, diperlukan akan semakin poly ayah yang peduli dan mau terlibat dalam pengasuhan anak-anaknya.


Idzma,co-founder Ayah ASI Bandung, lebih suka menyebut gerakan ini sebagai Komunitas Ayah ASI Bandung. Meskipun Ayah ASI Bandung muncul setelah adanya gerakan ID Ayah ASI, namun menurut Idzma, bentuknya berbeda. “Kalau ID Ayah ASI menyatakan diri sebagaisocial media movement, sedangkan Ayah ASI Bandung bentuknya lebih cocok disebut komunitas. Juga, karena Bandung itu kota komunitas, maka kampanye Ayah ASI Bandung lebih mudah dengan cara menggandeng komunitas-komunitas yang melibatkan para ayah. Jadi kerjasama antar komunitas,” jelas Idzma.


Komunitas Ayah ASI Bandung menempatkan diri sebagai teman ngobrol pada ayah. Yang dikampanyekan sebenarnya isuparenting, namun penyampaiannya dikemas dengan mengikuti gaya ayah. “Ayah itu tidak suka diceramahi, lebih suka ngopi, bersepeda, kegiatan yangcowokbanget lah,”kata ayah dari tiga anak ini. Berbekal pemahaman akan kebiasaan dan perasaan para ayah inilah, kampanye Ayah ASI Bandung dijalankan dengan pendekatan yang berbeda dengan seminar-seminarparenting yang biasa digelar. Ayah ASI Bandung memanfaatkan momen-momen santai para ayah untuk menyelipkan isu-isu tentang pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak.  Selama ini, cara yang umumnya dilakukan untuk mengampanyekanparenting kepada para ayah dinilai Idzma jauh dari efektif. Jumlah ayah yang dengan sukarela mau hadir dalam acara-acaraparenting jumlahnya sedikit sekali. Mengapa demikian? “Dalam banyak acaraparenting, yang membawakan kebanyakan perempuan, lalu ayah yang hadir ditunjuk-tunjuk, ayah harusnya dukung ibu, ayah harus begini, harus begitu. Ayah jadi malas untuk ikut lagi. Ayah merasa dituntut, dan mereka tidak suka,” jelas Idzma.


Padahal, peran ayah untuk mendukung ibu sejak kehamilan dan pasca melahirkan sangatlah penting. Dalam hal menyusui misalnya, tanpa peran dan dukungan ayah, keberhasilan ibu menyusui hanya sekitar 26%. Sedangkan, dengan keterlibatan ayah, keberhasilan ibu menyusui dapat meningkat hingga 98%. “Masa-masa awal ibu menyusui adalah masa yang berat untuk ibu. Masalahnya banyak. ASI tidak keluar, payudara membengkak dan luka, jam tidur yang tidak teratur, banyaklah. Pada masa-masa seperti ini, tanpa dukungan dari Ayah, peluang susu formula masuk besar sekali. Seorang ibu secara alamiah ingin memenuhi kebutuhan bayinya. Pada saat ia kelelahan, dan ASI yang keluar sedikit, ibu tidak bisa lagi berpikir panjang dan jernih. Maka memilih susu formula jadi solusi jangka pendek. Lain halnya jika ayah terlibat. Sebagai orang yang mendampingi ibu, ayah bisa berlaku lebih tenang dan berpikir lebih panjang,” kata Idzma. Hal kedua yang ingin disasar Ayah ASI Bandung adalah keberlanjutan dari keterlibatan ayah dalam mengasuh anak. Jika sejak kelahiran anak, ayah sudah terlibat, maka ayah akan melanjutkan keikutsertaannya mengasuh anak. “Sudah terlibat selama dua tahun di awal,masa tidak berlanjut?" tambah Idzma.


Dari aktivitastwitter @AyahASI_Bandung, terlihat bahwa selain mengampanyekan pentingnya peran ayah, Ayah ASI Bandung juga menyediakan diri sebagai wadah para ayah untuk eksis – menunjukkan kebanggaannya bermain bersama anak dengan mengunggah foto ditwitter, - wadah berkegiatan dan kumpul bersama para ayah, hingga menjawab pertanyaan-pertanyaan seputarparenting.  Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para ayah, dianggap Idzma sebagai salah satu keberhasilan kampanye Ayah ASI Bandung. “Dulu, hanya ibu-ibu yang sering bertanya seputar hal pengasuhan anak. Sekarang para ayah mulai bertanya-tanya. Para ayah menemukan wadah yang nyaman untuk berbagi dan bertanya. Karena sesungguhnya mereka juga ingin tahu, tapi selama ini tidak tahu mau membahas dengan siapa.  Ya, kegiatannya tetap ngopi-ngopi, jalan denganLand Rovermereka misalnya. Gaya  obrolannya tetap khas para laki-laki.  Tapi kalau saya dan teman-teman Ayah ASI sudah ngobrol tentangparenting, paling tidak sedikit-sedikit mereka juga dengarlah. Lalu mulai ikut mengobrol dan bertanya.”


Menurut Idzma, pembentukan figur laki-laki yang peduli pengasuhan anak juga efektif mendorong keberhasilan kampanyeparenting.  “Kalau dulu, figur laki-laki yang peduli dan membahasparenting itu rapi, klimis, berkemeja,kayak kak Seto. Sekarang, siapa yang menyangka, rambut gondrong dan tampang sangar juga bisa jadi ayah keren. Kalau jalan-jalan di mal, ada anak kecilmanggil, 'Mamaaaa...!', orang lain lihat, ah, biasa, manggil mamanya. Tapi kalau ada anak yangmanggil, 'Ayah!' lalu ayahnya menghampiri, orang lain lihat apa? Wah,  itu ayah keren! Begitu, kan...?” katanya.


Sekarang, target Idzma dan teman-teman meluas pada kaum muda yang belum menikah. Mareka ingin para lelaki muda juga punya kesadaran sejak dini akan pentingnya peran ayah, sehingga mereka akan terlibat langsung dalam pengasuhan anak ketika membentuk keluarga kelak. Ayah ASI Bandung menggelar acara-acaraparenting di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan kampus, mendekati mahasiswa dan mahasiswi. “Kemarin waktu menggelar acara di Salman –ITB, setelah acara para mahasiswicurhat. Mereka bilang, ‘Wah, Kak, lelaki yang peduli anak begini,Kak, masa depanku!’  Artinya, laki-laki yang mau terlibat itu juga menjadi pertimbangan mereka dalam memilih pasangan hidup. Makanya Ayah ASI Bandung sedang mencoba menjaring para mahasiswa untuk mau datang ke acara-acara kami,” kata Idzma. Tambahnya lagi, “Selama ini orang-orang mungkin tidak punyarole model ayah yang terlibat. Bukan tidak ada, ayah-ayah mungkin terlibat tapi tidak terlihat. Karena budaya atau alasan lain, ayah-ayah pada generasi terdahulu, tidak terbiasa  menunjukkan secara terbuka, bagaimana ia peduli dan mengasuh anaknya. Sekarangtrend-nya tidak begitu. Bagaimana seorang laki-laki gayanya tetapcowok, asyik ikut kegiatancowok, tapi juga keren karena  peduli dan terlibat dalam pengasuhan anak.”


?Dengan cara-cara yg dilakukan Ayah ASI Bandung selama ini, ayah akan melihat bahwa keterlibatan pada pengasuhan anak itu merupakan hal yg menyenangkan,? Istilah Idzma bersemangat.


Untuk mengetahui lebih lanjut dan mengikuti kegiatan Ayah ASI Bandung, ikutitwitter@AyahASI_Bdg atau email ke: ayasibdg@gmail.com





























Selasa, 16 Juni 2020

[PROFIL] Dinamika Keluarga Aktivis: Dialog, Komitmen, Pengaturan

Mbak Nophie dan Mas Black
Oleh: Deta Ratna Kristanti


Aktivis, umumnya punya segudang aktivitas. Ketika seorang aktivis memutuskan buat berkeluarga, akan muncul aneka macam dinamika baru terkait urusan famili & kegiatan-kegiatannya. Apakah aktivis harus selalu memilih keliru satu antara keluarga atau aktivitismenya? Dapatkah pasangan aktivis menjalankan ke 2 peran sekaligus, mengelola keluarga & permanen menjadi aktivis?


Kali ini, Pro:aktif Online mengangkat profil keluarga Elisabeth A.S. Dewi "Nophie"dan Antonius Sartono‘Black’, pasangan suami istri dengan dua orang anak, yang berbagi kepada KAIL tentang pengalaman hidup mereka dalam berkeluarga sekaligus menjalankan peran sebagai aktivis . Berikut petikan wawancaranya:


Sebelum menikah, Mbak Nophie dan Mas Black telah mempunyai poly kegiatan. Menyadari hal itu, apakah terdapat konvensi-kesepakatan yang dibuat sebelum menetapkan buat menikah?
Nophie (N): Mmm... tidak ada kayaknya ya, sambil jalan saja
Black (B): Sebelum menikah, kami sudah saling tahu, bahwa kami masing-masing sudah beraktivitas di mana-mana. Maka terjadi dialog antara kami, yang merupakan dialog dengan kesadaran, bahwa kami memang tidak bisa meninggalkan aktivitas yang dulu. Sekarang tinggal menyiasatinya saja, sambil prosesnya berjalan. Yang menjadi lebih enak adalah kami beraktivitas di bidang yang hampir sama, jadinya bisa saling melengkapi.


N: Lebih mengalir, kami jalani saja, lalu dilihat ada kebutuhan-kebutuhan apa. Ketika sudah punya anak, ada kebutuhan mengatur jadwal: siapa yang menemani anak, siapa yang mengurus ini dan itu, macam-macam. Pada akhirnya, kami harus bersiasat bikin skala prioritas. Tapi tidak ada yang melarang, mengekang. Ya diatur saja. Kalaupun sampai dua-duanya harus pergi karena ada tugas, seperti sekarang, kebetulan kami berdua panitia Sinode, maka kami bersiasat dengan keluarga besar. Eyang atau bude mana yang mau dititipi atau menemani anak-anak. Melibatkan keluarga besar, mau tidak mau.


B: Saya kira keberuntungan orang Indonesia salah satunya itu, kami masih punya keluarga besar yang “mengerti” aktivitas kami, menerima, walaupun dengan bahasa yang lain, tapi mereka tahu kami beraktivitas seperti apa. Intinya keluarga besar sangat terbuka untuk membantu dalam pola pengasuhan anak-anak.


N: Dan anak-anak, ketika mereka sudah bisa diajak berdiskusi, ya kami ajak diskusi. Mereka tahu apa yang kita lakukan. Kami ada di mana, dengan siapa, itu mereka tahu. Dan kadang-kadang ada waktunya juga kami beri pilihan kepada anak-anak, mau ikut atau tidak. Kalau mau ikut, nanti kondisinya begini, begini, begini. Siap atau tidak. Kalau tidak siap, ya sudah, di rumah saja. Kalau siap, ya ayo ikut. Sebenarnya dari anak-anak masih kecil ya, zaman kami baru punya anak pertama, kalau kami harus pergi berdua, ya anak-anak kami bawa. Digendong ya digendong, sambil pelatihan. Jadi dari kecil anak-anak sudah tahu keadaannya. Dari kecil sudah melihat aktivitas kami, jadi mungkin.. hmm, saya tidak tahu mereka suka atau tidak suka ya, tapi tampaknya, mereka bisa menyesuaikan dirilah dengan irama aktivitas orang tuanya.


Bagaimana menyebutkan kepada anak-anak agar mereka bisa tetapkan mau ikut pulang atau nir?
N: Jelaskan kondisinya seperti apa kalau kami tahu keadaannya. Tapi kalau kami tidak tahu ya kami jelaskan seburuk mungkin kemungkinannya. Lalu mereka mikir. Kami tidak pernah memaksa, karena kami tidak mau dipaksa juga.


Usia berapa anak-anak mulai diajak bicara?
N: Mulai dari usia sekolah, karena mau tidak mau urusannya dengan akademik. Ketika sudah sekolah, kami berusaha untuk tidak membuat mereka bolos. Mereka harus tahu bahwa ketika sudah bersekolah prioritas mereka itu sekolah. Kecuali kepepet banget mesti ikut, mungkin terjadi sekali dua kali lah sepanjang mereka sekolah, karena tidak ada pilihan lain dan jauh. Lalu mereka ikut. Tapi mereka sudah tahu konsekuensinya. Tantangan (istilah untuk PR sekolah) akan menumpuk, review (ulangan)  akan lewat, kami beritahu. Tapi waktu anak-anak belum sekolah, terutama ketika mereka masih disusui, mau tidak mau mereka ikut. Ketika sudah lepas ASI, mereka sudah mulai diberi pilihan.


Kalau pada bayangan Mbak Nophie & Mas Black, pengaturan pada famili aktivis idealnya misalnya apa?
B: Di dalam keluarga ada pembagian peran. Orang tua tetap punya peran orang tua, anak tetap punya peran anak, pada proses perjalanan itu terjadi sebuah dialog, dalam arti, ada kepentingan orang tua dan ada kepentingan anak.  Ini yang dijadikan proses diskusi untuk mengambil keputusan. Dalam konsep ideal saya, kepentingan anak maupun kepentingan orang tua ini bisa disepakati bila terjadi dialog.  Jadi pertama, perlu adanya dialog. Kedua, tidak ada pemaksaan. Ketiga, pilihan bebas. Saya boleh atau tidak pergi beraktivitas, itu dikembalikan pilihannya kepada masing-masing. Keempat, kesepakatan pada  jadwal yang dibuat. Mungkin juga orang lain lihat kami aneh. Keluarga kok diatur dengan jadwal. Tapi ya memang dengan begitu di keluarga kami prosesnya bisa berjalan.
Kalau keluarga lain, pengaturannya mungkin berbeda. Kadang-kadang ada orang tua yang satu aktivis, satu lagi bukan. Saya tidak tahu apakah itu keputusan mereka untuk memilih, satu tetap menjadi aktivis dan satu tidak lagi menjadi aktivis atau bagaimana.  Tapi untuk keluarga kami, kalau membuat janji salah satu (beraktivitas) di rumah (saja) kayaknya tidak bisa.


N: Tentang menjadi ibu. Dari hasil ngobrol dan studi saya tentang motherhood, yang paling sering melanda ibu-ibu adalah perasaan bersalah. Ketika mereka harus pergi meninggalkan anak mereka, karena alasan harus bekerja atau apapun, mereka seringkali didera perasaan bersalah. Nah, buat saya itu sangat tidak ideal. Maka saya mencoba tidak punya perasaan begitu. Karena buat saya, saya pergi bukan buat apa-apa kok.  Beda kalau saya pergi, misalnya, mabuk mabukan, lupa daratan, lupa lautan, mungkin jadi wajar ada perasaan bersalah itu. Tapi saya pergi karena saya bekerja, saya beraktivitas. Suami dan anak-anak tahu saya ada di mana, saya sedang apa. Kami saling tahu. Jadi buat saya tidak penting ada rasa bersalah.  Karena begitu kita merasa bersalah, anak juga akan tahu. Lalu adalah istilahnya, terjadi konflik-konflik batin sebagai orang tua. Buat saya yang ideal adalah, kalau kita sebagai orang tua pergi,tidak perlu merasa bersalah. Karena yang kita lakukan itu baik kok. Mungkin tidak baik untuk anak kita pada saat itu karena merasa ditinggalkan. Tapi kita berbuat baik untuk orang lain. Somehow, saya tidak tahu gimana caranya, saya merasa, ketika saya melakukan kebaikan untuk orang lain, saya juga sedang melakukan kebaikan untuk anak saya, secara tidak langsung. Jadi saya mau menambahkan poin itu.
Ambil contoh, orang lain pernah bertanya, di keluarga kami kok nggak pernah telpon-telponan sih, nggak pernah bertanya lagi apa. Itu tidak penting buat kami. Karena kami sama-sama tahu dia lagi ada di mana, sedang apa. Buat kami itu cukup. Tidak ada telpon artinya aman. Kalau ditelpon, malah jadi deg-degan, ada apa nih. Kenapa demikian, karena kami sudah saling percaya. Anak percaya ibu, ibu percaya bapak, bapak percaya sama anak-anak. Ya sudah, tinggal jalan aja.


Pernahkah terdapat situasi di mana, meskipun telah diatur sedemikian rupa, terdapat pihak-pihak yg perlu mengalah, misalnya pekerjaan ditinggalkan, atau anak mau nir mau mesti ikut ayah atau ibunya pergi bertugas?
N: Oh ya, jelas, ada. Saat anak sakit, kalau sudah anak sakit, bubar semua rencana. Lepas. Jadwal tidak ada artinya. Kalau pasangan sakit, ya sudahlah ya, sudah besar, yang penting dia beristirahat cukup. Tapi kalau anak sakit, tidak bisa. Atau kalau anak-anak ada acara di sekolah. Kalau orang tua tidak datang, mereka merasa sangat sedih. Mereka bilang, “Ya udah deh, nggak apa-apa nggak ada ibu dan bapak, tapi aku sedih.” Nah kan, ya kita juga harus mengerti. Ya sudah, akhirnya, kegiatannya nanti ditunda atau berubah jadwal atau diatur ulang, tapi kemudian kami datang untuk kepentingan anak. Mau tidak mau ya harus fleksibel juga.


B: Saya kira kata lain dari fleksibel ya “berkorban”. Dalam konteks “keluarga aktivis”, sebetulnya kunci yang harus muncul ya rela berkorban. Seperti tadi, anak sakit, ya mau tidak mau semua kegiatan harus dilepaskan, dijadwalkan ulang lagi. Saya kira salah satu syarat perkawinan ya rela berkorban juga ya, menurut saya. Tidak bisa tidak, gitu. Apalagi ditambah dengan aktivitas yang banyak.  Saya rasa ini salah satu hal yang penting juga: rela berkorban.


N: Dan jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Karena kalau kita terlalu berpikir apa kata orang, pusing juga kita ya. Kadang-kadang ukuran orang itu beda dengan ukuran kita. Ukuran kebahagiaan, ukuran kesuksesan, beda-beda ya. Misalnya, kebahagiaan kita adalah bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, ya, beda kan. Ya cuekin aja.Karena kalau mikirapa kata orang, stres juga kita. Padahal, tinggal prioritasnya dikompromikan. Mana yang jadi lebih penting, itu dikompromikan. Hasil dari kompromi itu sendiri yang dijalankan.


Apakah Mbak Nophie & Mas Black pula asal menurut famili yg orang tuanya aktivis?
B: Orang tua saya bukan aktivis, tapi PNS, pekerja. Dalam konteks pergi bertugas, dua-duanya memiliki jam terbang  tinggi. Bapak saya di bidang teknik, yang harus pergi pagi pulang malam, ibu saya seorang pendidik, dari pagi sampai sore. Kalau disebut aktivis seperti kami ya bukan, tapi memang dari dulu saya biasa lihat, bapak pulangnya sore atau malam.


N: Kalau bapak ibu saya kalau mau dibilang aktivis, ya aktivis sih, terutama aktivis di gereja ya. Bapak ibu dulu tim dari ME (Marriage Encounter), jadi mereka memberikan retret ME ke mana-mana. Zaman dulu mungkin sebulan sekali, dua bulan sekali, sering banget pergi. Lalu mereka juga aktivis kharismatik, sering juga ke mana-mana. Bapak saya dulu guru, pendidik, ibu saya ibu rumah tangga yang sibuk: berdagang, merias pengantin, menjadi penjahit. Karena saya keluarga besar, sudah biasa diasuh oleh banyak orang. Atau mengasuh diri sendiri. Dan saya merasa menjadi kaya dengan pengalaman, karena saya jadi tahu berbagai jenis orang dan situasi. Makanya anak-anak kami juga sekarang dicobakan dengan model seperti itu.  Masuk rumah nenek yang ini, di bude yang ini, yang itu. Bertemu orang mulai dari yang sangat biasa sampai yang sangat luar biasa. Mereka “terkontaminasi”, dengan sifat banyak orang,  dalam artian yang mudah-mudahan positif.


Dari pola pengasuhan keluarga yg diterapkan Mbak Nophie dan Mas Black ,apa imbasnya ke anak-anak?
N: Kalau kata orang lain, anak-anak kami mandiri ya. Kalau pakai ukuran yang rata-rata, mereka boleh dikatakan mandiri, karena mereka sudah biasa mengatur diri sendiri. Misalnya, kalau kamu lupa bawa baju ke rumah eyang, ya otomatis kamu tidak punya baju ganti. Mereka harus belajar resiko dan segala macamnya.


B: Kedua dari segi wawasan, mau tidak mau karena mereka berdua ikut ngobrol sama bapak ibunya. Memang lalu menjadi PR lagi bagi bapak ibunya untuk menerangkan istilah-istilah yang sebenarnya kita tahu dia belum tahu artinya apa. Jadi ada tambahan pekerjaan sih sebenarnya untuk kami. Macam-macam, sebab kami tidak menyangka juga kalau dia ikut menangkap pembicaraan kami. Meskipun saat itu dia kelihatannya lagi menggambar, misalnya. Kelihatannya sih baca buku, tapi ternyata kupingnya kebuka ya. Misalnya, pas pulang dia tiba-tiba bertanya, “Human traffic k ing tehapa?”. Itu yang menjadi resiko untuk kami, karena kami yang sudah memasukkan dia dalam “aktivitas orang dewasa”. Saya kira begitu. Orang sering bilang, nih anak umur berapa, kelas berapa, kok omongannya kayak gini. Mudah-mudahan sih tidak menjurus ke dewasa sebelum waktunya.. hahaha..


Adakah pengalaman paling mengesankan berkaitan menggunakan pengaturan menjadi famili aktivis atau sebagai famili aktivis?
N: Saya pernah lagi naik trem di tengah kota Melbourne, lalu ada orang manggil saya, “Mbak Nophie! Eh,  mbak,  masih ingat nggak, kita pernah ketemu waktu itu di Garut, lalu mbak Nophie ngasihtraining, bawa bayi, pakai ransel gitu. Saya tidak pernah lho, mbak,  lihat trainer bawa bayi pakai ransel. ” dan lalu dia cerita segala macam. Lucu ajaya, pengalaman unik. Orang mungkin tidak ingat materi yang saya saya sampaikan. Tapi saya membawakan training, sebagai trainer yang bawa bayi, buat dia menjadi hal yang mengesankan, sampai dia tidak lupa. Lalu bertemu berapa tahun setelahnya, di negara lain, dia masih ingat pengalaman itu. Dan kemudian orang tersebut bilang, “Saya mau lho, mbak, suatu saat seperti Mbak (Nophie).”
Buat saya sebagai seorang ibu, saya diingat. Setidak-tidaknya saya mencoba, mematahkan anggapan bahwa feminis itu tidak punya kepedulian terhadap keluarga, feminis itu terlalu mandiri, feminis itu tidak perlu laki-laki, feminis itu lesbian, feminis itu keluarganya hancur. Saya sebisa mungkin mematahkan lah anggapan negatif tersebut. Bahwa seorang feminis ternyata bisa kokpunya anak, punya suami dan baik-baik aja. Bisa kok tetap heteroseksual.
Buat saya, motheringitu harus menyenangkan, jangan jadi beban.
Saya kemarin baru mengobrolkan hal ini dengan anak saya sebelum melepas dia campingbeberapa hari, “Kalau saya diberi umur panjang, sepanjang hidup ibu, ibu akan jadi ibu. Dan seumur hidup kamu, kamu akan jadi anak. Jadi kalau kita nggak fun, kita nggak enjoy, capek bangetkan. Jadi ya enjoy aja, gitu.”


B: Pengalaman bertemu orang-orang. Kayak Nophie tadi, saya ngomong apa, mereka masih ingat. Buat saya, di balik ketemu orang-orang itu, saya jadi diingatkan oleh banyak orang, untuk menjalani yang saya omongkan. Pengalaman bertemu orang-orang ini jadi semacam “pagar”, untuk umpan balik bagi saya. Kadang-kadang orang mendengar apa yang saya omongkan, “Wah ini bisa jadi inspirasi.”. Padahal sebenarnya kelihatannya waktu itu cuma ngobrol biasa saja. Saya kira itu, berbagi pengalaman hidup, proses, karena kita hanya bisa berbagi pada tataran itu.


Menurut Mbak Nophie & Mas Black, hal apa yg perlu diingat & diperhatikan sang semua famili aktivis, atau oleh aktivis yg berniat berkeluarga?
N: Kita itu manusia biasa, dengan segudang aktivitas, dengan segudang rencana, dengan segudang mimpi yang kita punya. Kita tetap manusia dengan keterbatasan. Tetapi keterbatasan itu bukan sesuatu yang menghalangi langkah kita, tapi kita harus pintar-pintar bersiasat, berstrategi dengan keterbatasan kita dan jangan menganggap itu sebagai beban. Kalau beban, ujungnya akan berat ke kita. Having fun saja. Karena kita beraktivitas untuk manusia, bersama manusia. Manusia itu punya banyak dinamika, punya banyak hal yang tidak bisa kita duga, termasuk anak, pasangan dan keluarga besar kita, akan banyak dinamika, up and down-nya. Jangan stres. Bagaimana  kita bisa beraktivitas kalau kita stres? Nikmati saja, jalani saja. Jangan pernah merasa kita harus sempurna. Tidak.  Jadi kalau ada yang tanya, “saya ibu yang baik tidak ya, saya ibu yang benar tidak ya”. Jawabannya, tidak ada tuh, ibu yang baik, ibu yang benar. Semuanya tergantung, mau pakai definisi mana, tolok ukur siapa. Semua itu kan balik lagi ke kita. Selagi anak senang, pasangan bahagia, semua baik-baik saja, ya sudah. Di tengah segala keterbatasan, kalau kita diskusikan, pasti ada jalannya.


B: Kalau menurut saya, cuma dua. Pertama, kerendahan hati dan kedua, kesediaan untuk berkorban. Kalau dua hal ini tidak dimiliki, pasti akan muncul pertengkaran, terjadi kesalahpahaman, kecurigaan. Ini kan bibit dalam proses berkeluarga ya, kalau kita mengobrolkan bibit, proses dalam berkeluarga ya, kalau tidak diperhatikan pasti amburadul. Kerendahan hati ya, misalnya sekarang saya mesti mengasuh anak, karena dia harus pergi. Lain waktu dia yang harus di rumah, mengurus anak-anak, giliran saya yang pergi. Rela berkorbannya ya tadi, misalnya saya sudah punya rencana, tiba-tiba harus batal karena anak sakit, misalnya. Dalam prosesnya, ya itu tadi, saling menutupi itu bukan saling menutupi kelemahan, tapi saling melengkapi.


N: Dan tidak ada yang lebih hebat, tidak ada yang lebih tidak hebat ya. Bukan berarti yang di rumah lebih tidak hebat, yang pergi lebih hebat. Tidak. Karena yang di rumah juga “sakit kepala” juga, ngurus segala macam, dari A-Z.


B:   Satu lagi, yang kita perjuangkan, budaya kesetaraan. Ke mana-mana kita bicara soal kesetaraan, ya harus diaplikasikan, harus dipraktekkan. Ya seperti ini, kesetaraan itu begini. Tidak ada yang satu di atas, satu di bawah. Atau setara, tapi saling menutupi semuanya. Tidak begitu.


N: Dan itu kesetaraannya sampai di anak-anak, bukan hanya di kami saja. Karena generasi kami kan, generasi saya dan Black adalah generasi yang ngomongke mana-mana. Hasilnya kelihatan atau tidak itu di anak-anak kami. Itu juga salah satu tambahan pekerjaan kami ya. Kebetulan anak kami sepasang, laki-laki dan perempuan. Mereka punya tidak kesetaraan? Mereka punya atau tidak kesetaraan, punya tidak kesadaran, bahwa, nggak ada yang lebih hebat atau nggak ada yang lebih nggak hebat? Begitu.


Hmmm.. Ini pertanyaan epilog, sekaligus konfirmasi. Jadi dinamika yg paling mewarnai keluarga aktivis itu kebanyakan soal pengaturan waktu, atau ada yg lain?
B: Yang paling mewarnai sebenarnya adalah dialog. Dialog itu kadang-kadang dengan nada tinggi, nada sedang, nada rendah. Biarpun misalnya dengan kesal apa ya, tapi tetap ada semacam pemberitahuan, konfirmasi. Ada berita, meskipun dengan nada tinggi, tapi konsepnya pemberitahuan.
N: Kalau menurut saya, komitmen ya.  Seperti saya bilang tadi, kalau yang satu sedang pergi, satu lagi di dalam, ya yang di dalam harus membereskan semuanya kan. Bukan hanya masalah waktu ya. Karena, misalnya, Black yang harus di rumah ya, artinya Black juga kan harus mengatur antara komitmen pekerjaan dia di manapun dengan urusan di rumah. Itu juga butuh komitmen kan, anak-anak butuh di mana, perlu diatur. Karena kami tidak mau menghentikan segala macam aktivitas mereka hanya karena aktivitas kami. Buat kami itu tidak adil sama sekali. Misalnya,“Karena kami harus pergi maka kamu tidak bisa les renang.” Tidak, tidak boleh begitu. Semuanya harus berjalan. Menantangnya di situ. Aktivitas kami dua-duanya jalan, tapi aktivitas anak-anak tidak boleh terabaikan. Nah itu komitmen, pengaturan, melibatkan orang. Siapa yang mau dilibatkan. Kita punya ojek pribadi yang bisa menemani anak-anak berkegiatan, yang kami sudah percaya sekali. Semua harus diatur.




























































































Rabu, 10 Juni 2020

[PROFIL] Merawat Hobi, Merawat Hidup

Oleh: Deta Ratna Kristanti

Apa kegiatan yg Anda bayangkan akan Anda lakukan saat Anda mencapai usia 60 tahun? Atau ketika Anda sudah pensiun menurut pekerjaan Anda ketika ini?

Foto Ibu Susen - dengan talas raksasa di Tahura
Sambil membayangkan, penulis mengajak Anda menemui sosok seorang ibu berusia 61 tahun yang masih aktif berkegiatan di berbagai tempat. Ibu Susann Suryanto, biasa dipanggil Ibu Susen, dulu berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran hingga pensiun 8 tahun yang lalu. Ibu Susen juga merupakan pendiri Perhimpunan Insan Kreatif dan Pecinta Lingkungan (PIKPL) Semanggi, sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Saat ini, ibu Susen aktif sebagai penasehat di Perkumpulan Pecinta Tanaman di Kotamadya Bandung, Ketua 1 di Ikatan Perangkai Bunga cabang Jawa Barat serta beberapa kegiatan lainnya. Aktivitas lain yang sedang dikerjakan Ibu Susen saat ini adalah menyusun Buku 101 Pesona Pohon di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda Bandung, berdasarkan penelusuran/ identifikasi terhadap 112 tanaman di Tahura yang dilakukannya pada tahun 2013. Ibu yang selalu antusias bercerita ini juga memproduksi beberapa makanan tanpa monosodium glutamat (MSG), pengawet, pemanis dan perasa buatan. Ibu Susen memproduksi makanan sehat setelah di’curhat’i beberapa kawannya yang kesulitan menemukan makanan sehat saat makan di luar rumah. Ibu Susen lalu berkesimpulan bahwa kalau ingin aman makan makanan sehat berarti makanannya perlu diproduksi sendiri. Maka kemudian Ibu Susen memutuskan untuk membuat makanan sehat.

Punya Hobi Seawal Mungkin

Foto Ibu Susen - menggunakan Kriuk

(produk kuliner sehat)Dalam ceritanya pada KAIL, Ibu Susen menuturkan bahwa beliau memiliki banyak hal yg ia senangi buat dikerjakan. Tetapi 2 hal yg paling dia senangi merupakan aktivitas yg berhubungan dengan tumbuhan dan mengolah. Menurut Ibu Susen, hobi memasak telah dia geluti semenjak usang. Hampir setiap ia menerima kesempatan berkunjung dan mencicipi kuliner berdasarkan banyak sekali wilayah atau menemukan makanan baru, beliau akan bertanya atau mereka-reka bumbunya, lalu mencobanya sendiri di tempat tinggal . Karena hobinya itu, Bu Susen terbiasa buat membuat kuliner sendiri sesuai menggunakan keinginannya. Tentunya, termasuk makanan sehat & bergizi. Ibu Susen pun bahagia jika bisa membuatkan kuliner sehat bagi famili, kerabat maupun teman-sahabatnya. Baginya, mengembangkan makanan sehat adalah bagian menurut tujuannya menularkan kebiasaan hidup sehat.

Hobi Ibu Susen yang ke 2 herbi flora. Ini merupakan hobi yang sangat ia senangi, karena rasa cintanya yg besar terhadap tumbuhan. Ibu Susen tidak hanya mengagumi dan merawat flora, namun jua mencari tahu nama Latin (nama ilmiah yang berlaku pada seluruh global) serta kegunaan tumbuhan-tumbuhan yg dia jumpai. Ibu Susen menuturkan, setiap ia melewati hutan atau jalan dengan poly tumbuhan, ia selalu merasa ditemani sang flora-tanaman yang dijumpainya.

Sejak kapan Ibu Susen mempunyai hobi mengulik & merawat tumbuhan? Ternyata, sejak kecil Ibu Susen telah mulai menyenangi kegiatan menanam & berkebun. Ini lantaran ayahnya senang menanam banyak sekali flora & Ibu Susen senang ikut ayahnya berkebun. Di rumahnya, ayah berdasarkan Ibu Susen menanam & merawat berbagai jenis tanaman , antara lain pohon loquat, jambu mawar, belimbing, pandan, bunga soka, delima, suji, cokelat, bunga cempaka gondok, bunga cempaka pisang, apel, kucai, mawar, laos, sirsak, delima, cengkeh, dan bumbu-bumbu dapur. Dengan begitu poly tumbuhan pada kebunnya, Ibu Susen jadi memahami & sanggup belajar rupa dari macam-macam flora itu, meskipun waktu itu dia belum memahami namanya. Ketika belajar pada perguruan tinggi, barulah Ibu Susen belajar nama-nama Latin dari flora-flora yang dia kenali semenjak kecil. Ibu Susen bersemangat sekali belajar nama-nama Latin flora lantaran akhirnya ia bisa mengetahui nama dan kegunaan tanaman -tanaman yg ia kenali semenjak mini tadi. Sangking bersemangatnya, ketika berangkat kuliah dulu, Ibu Susen berjalan berdasarkan rumahnya pada Jalan Mundinglaya, Bandung ke kampus pada Jalan Dipati Ukur sembari menghafalkan nama-nama Latin dari pohon-pohon yang dia temui pada sepanjang jalan. Benar-benar hobi ya!

Seperti yang dituturkan kepada KAIL, Ibu Susen berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas yang berpotensi menjadi hobi harus dikenalkan sejak dini dan secara total. “Contohnya, ketika anak belajar berkebun, ya biarkan anak itu kotor-kotoran. Ya, itulah alam. Terlibatlah, karena itu sesuatu yang nyata” kata Bu Susen. Tidak selalu pula, hobi mesti dikembangkan lewat kursus atau les. “Saya tidak pernah kursus. Dapat membuat sesuatu yang indah, misalnya , membuat landscape, itu keluar dari diri saya sendiri, setelah lama saya menekuni (hobi). Karena saya tahu, oh karakter tanaman jenis ini cocoknya ditaruh di ruangan, karakter tanaman ini harus kena sinar matahari, karakter tanaman ini harus dekat jendela. Karena saya betul-betul jadi kenal (tanaman) seperti sahabat. Ya, saya menganggap tanaman-tanaman itu sahabat saya,” cerita Ibu Susen.

Alangkah Menyenangkan Punya Pekerjaan Sesuai Hobi

Hobi digambarkan Ibu Susen sebagai aktivitas yang disukai, dan ketika mengerjakannya, orang yang memiliki hobi tersebut tidak memiliki beban. Malahan dari hobi yang kita kerjakan, kita memperoleh input yang positif untuk diri kita, misalnya perasaan senang, semangat, dan antusias. Dalam perjalanan hidupnya, Ibu Susen juga bertemu dengan banyak orang, bahkan aktivis, yang tidak memiliki hobi, dan ini menjadi keprihatinan Bu Susen. Menurut Ibu Susen, orang-orang ini biasanya masih menjadi pengikut (followers) saat mengerjakan aktivitas tertentu, dan bukan menekuni sesuatu karena kecintaan yang tumbuh dari hatinya. Misalnya saja, aktivitas yang dilakukan adalah karena tuntutan pekerjaan atau kebutuhan dari tempat kerjanya saat itu. Tapi sebetulnya kalau orang itu mau membuka diri, mungkin bisa jadi hobinya tersebut menjadi aktivitas yang ia lakukan selama hidupnya, yang menyenangkan dan bisa dikembangkan seumur hidupnya. Jadi ketika memasuki masa pensiun, aktivitas hobi tersebut bisa ia kembangkan, memberikan inspirasi dan semangat untuk dirinya. Ibu Susen sendiri merasa prihatin dengan sebagian kawan lamanya yang dulu terlihat begitu aktif dan eksis di pekerjaannya, namun ketika pensiun mereka merasa kehilangan segalanya dan tidak tahu harus berbuat apa sekarang karena pekerjaan itu sudah dihilangkan. “Saya meragukan kecintaan mereka pada apa yang mereka geluti semasa bekerja dulu. Mungkin hanya karena tuntutan pekerjaan. Sekarang mereka tidak tahu harus berbuat apa. Sangat menyedihkan, kan.”

Dari pengalaman sahabat-temannya itulah, Bu Susen beropini, seorang wajib mempunyai hobi. Karena hobi adalah sesuatu yg inheren dengan diri orang tadi. Ya memang mungkin ketika masih bekerja, ketika buat melakukan hobi itu terbatas. Tetapi saat seorang memasuki usia pensiun, hobi itu bisa menjadi sesuatu yang mengisi dirinya. ?Lantaran hidup manusia perlu diisi dengan sesuatu yg berarti. Berarti bagi dirinya, bagi orang lain, dan makhluk lain. Sehingga orang merasa ?Aku terdapat artinya?. Tanaman-tanaman yg kuurus, saat kurawat menggunakan penuh kecintaan dan tumbuh subur, dia pulang menaruh semangat kepadaku.?

?Menurut aku , memang yg paling ideal itu, sebaiknya orang itu bekerja di hobinya, dan hobinya mampu menghasilkan buat kehidupannya. Tapi hati-hati pula, kadang lantaran ambisinya, banyak permintaan yang herbi karya menurut hobinya, kemudian orang sanggup jadi kejenuhan & kehilangan apa yg tadinya dirasakan latif berdasarkan hobinya itu ya,? Tambah Ibu Susen.

Hobi buat Berbagi

Ibu Susen mengajak orang-orang untuk memiliki hobi sepanjang usianya. “Jadilah lansia yang produktif,” pesannya pada rekan-rekan sebayanya. Menurut Ibu Susen, dengan tetap merawat hobi, orang yang sudah pensiun pun bisa berbagi dengan temannya. Bisa membagi hasil dari hobinya, ataupun ilmunya. Berbagi hobi bisa mengisi waktu para pensiunan dengan sesuatu yang bermakna. Bagi Ibu Susen, kita dapat berbagi hobi, ataupun menjadikan hobi sebagai media untuk berbagi. Misalnya ketika kecil, Ibu Susen memiliki hobi mengumpulkan perangko. Tetangganya pun demikian. Di waktu-waktu tertentu, mereka bertemu untuk bertukar perangko. Dengan kegiatan tukar-menukar perangko, ada berbagai hal yang bisa dibagi, misalnya pengetahuan dan rasa pertemanan. Demikian juga dengan tanaman. Di rumahnya yang tak berlahan, Ibu Susen membangun vertical garden dengan menjepitkan pot-pot tanaman pada jalur-jalur besi yang didesainnya sendiri. Model vertical garden semacam ini ternyata menginspirasi teman-teman Bu Susen yang datang ke rumah untuk membuat model yang serupa. Dengan posisi rumah Bu Susen yang juga berada di pinggir jalan, masyarakat umum juga dapat dengan mudah mendapat ide menanam dengan memanfaatkan ruang sempit seperti yang dilakukan Ibu Susen. Di Perkumpulan Pecinta Tanaman, Ibu Susen dapat berbagi tanaman yang ia punya kepada teman-temannya sesama anggota dan juga sebaliknya.

Hobi sebagai Gerakan buat Perubahan

Selain untuk berbagi, hobi juga dapat menjadi gerakan untuk membawa perubahan. Sebagai contoh, Bu Susen membuat vertical garden di rumahnya dengan dua tujuan. Yang pertama, menyaring debu-polusi udara dan polusi suara, terutama dari asap dan suara kendaraan bermotor yang lalu lalang di depan rumah. Kedua, memberi inspirasi pada orang-orang yang melihat vertical garden tersebut, terutama untuk orang-orang yang tidak punya lahan. “Tidak usah masyarakat menanam tanaman hias seperti saya, kalau masyarakat mau menanam sayur-sayuran dalam pot, saya kira yang seperti ini bisa cukup untuk konsumsi satu keluarga, tanpa harus membeli ke pasar,” ujar Ibu Susen. “Saya kira, sekarang mulai banyak juga yang membuat vertical garden di RT dan RW mereka. Ini bisa jadi satu gerakan sosial.”

Foto Ibu Susen - Vertical Garden3
Selain menginspirasi lewat rancangan vertical garden, dari hobinya yang sudah menghasilkan pemetaan dari 112 tanaman hutan di Tahura dan akan segera dibukukan, Ibu Susen berharap dapat mendorong generasi muda untuk mengenal kekayaan pohon-pohon di Tahura dengan bantuan para regulator dan pendidik. Lebih jauh lagi, Ibu Susen ingin tanaman-tanaman yang ada di Tahura tidak hanya dikenal oleh masyarakat Bandung dan Jawa Barat, namun dapat menjadi aset nasional. Karena itu Ibu Susen sedang mengusahakan supaya dilakukan perbanyakan atas tanaman-tanaman tersebut. “Kegunaan dan khasiat pohon-pohon ini luar biasa. Terhadap tanaman ini bisa dilakukan perbanyakan dengan cara konvensional maupun modern dengan tissue culture (kultur jaringan). Harapannya, tanaman-tanaman ini bisa dibagikan ke daerah-daerah di provinsi di seluruh Indonesia, sehingga masyarakat luas dapat memanfaatkannya untuk kehidupan mereka. Sebagai contoh, ada sekitar 80% tanaman yang saya petakan adalah zat pewarna alami. Di daerah NTT yang menghasilkan tenunan, zat pewarna alami ini bisa sangat dibutuhkan, sebab saat ini tenunan di sana sudah mulai diracuni dengan zat pewarna sintetik. Itu karena mereka tidak memiliki bahan. Ketika saya berkunjung ke salah satu daerah di NTT, untuk pewarna alami mereka hanya bisa bergantung dengan bahan yang ada di halaman rumahnya. Kalau kita dapat mendorong bupati atau pemerintah daerah agar membuat lahan-lahan pinggir jalan menjadi arboretum, maka kita bisa menanam mengkudu, misalnya, yang merupakan pewarna coklat alami. Saya kira akan memudahkan rakyat untuk mencari bibitnya. Membuat arboretum pewarna alami yang dibutuhkan masyarakat NTT. Saya kira begitu,” tutur Ibu Susen. Ibu Susen juga melihat bahwa hasil hutan seperti biji dan serat tanaman dapat memberi inspirasi kepada para generasi muda untuk menghasilkan karya-karya kreatif yang mendunia.

Bagi sosok Ibu Susen, menjalankan hobi memang bukan sekadar pengisi saat senggang yg menyenangkan. Lebih jauh, hobi kita bisa berkembang sebagai pandangan baru, menjadi gerakan buat perubahan besar , bahkan pada skala dunia. Ibu Susen menekankan pada hobi menjadi aktivitas yang dikerjakan menggunakan hati. Sebab jika dikerjakan menggunakan hati, segala aktivitasnya akan total dan dalam. ?Sebab hati punya akalnya sendiri, yang akan sanggup berkembang ke mana-mana,? Ujarnya. Di mata Ibu Susen, seseorang pelaku hobi memang sepantasnya adalah aktivis, yang akan merawat dan menyebarkan kegiatan hobinya dengan tidak putus-putus, buat membuatkan serta memberi manfaat yg semakin akbar bagi global.

***

Sabtu, 06 Juni 2020

[PROFIL] Mengikatkan Diri untuk Memerdekakan Masa Depan

Oleh: Deta Ratna Kristanti

Prof. Hendra Gunawan
Jika kita berbicara tentang kemerdekaan, biasanya kita mengaitkannya dengan kebebasan. Kebebasan berpikir, berbicara, bertindak merupakan tiga hal yang sering digadang-gadang sebagai indikator kemerdekaan. Kemerdekaan juga digambarkan sebagai situasi di mana orang tidak terbelenggu oleh tekanan atau tuntutan dari pihak lain terhadap dirinya.

Kemerdekaan seringkali diidentikkan dengan situasi tanpa keterikatan, lantaran keterikatan tak jarang diartikan menjadi belenggu yang membatasi kebebasan. Apakah orang yg mengikatkan diri berarti menanggalkan kemerdekaannya? Bagi seorang Hendra Gunawan, seorang matematikawan & inisiator anakbertanya.Com, kesediaannya mengikatkan diri pada tujuannya justru sebagai kunci keberhasilan buat mewujudkan mimpi-mimpinya.

Anak-Anak yg Merdeka: Siap Menghadapi Tantangan Zaman dengan Budaya Bernalar

Apa mimpi Pak Hendra? Salah satu mimpi Pak Hendra adalah mewujudkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan pada zamannya, sekitar 30 tahun ke depan. “Tiap anak itu punya potensi untuk memecahkan masalah, mereka punya potensi untuk mencipta. 30 tahun ke depan, anak-anak ini berada di puncak karier, dan mereka yang akan menjadi pemimpin. Yang kita lakukan itu bertujuan menggugah anak-anak untuk mau membekali diri mereka dengan kemampuan bernalar dan mencipta. Dan apa yang diciptakan anak-anak itu bisa baru, orisinil dari mereka” tutur Pak Hendra. Bagi Pak Hendra, kemerdekaan berarti bebas dari kungkungan pihak lain/ aturan yang dibuat turun temurun baik yang tertulis maupun tidak, leluasa melakukan apa yang ingin dilakukan, termasuk yang selama ini ia perjuangkan bersama teman-temannya: kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mendefinisikan sesuatu yang baru.

Dalam kurun saat 71 tahun kemerdekaan Indonesia dan pada masa yang akan tiba, kemerdekaan buat anak masih krusial buat terus disuarakan dan diupayakan lantaran tantangan setiap zaman tidak sinkron. Pada saatnya, pengetahuan dan konsep yg kita anut akan lama juga. Perlu konsep baru, perlu upaya tidak sinkron. Karena itu, anak-anak perlu merdeka buat berpikir & bertindak, nir boleh terkungkung sang pengajar atau orang tuanya, sebagai akibatnya bisa berbagi kualitas dirinya. Mahasiswa jangan hingga merasa dikungkung kebebasan berpikirnya sang dosen. Pengajar-guru menjadi pendidik juga tidak boleh terkungkung perkembangannya lantaran terbentur kurikulum, sebagai akibatnya ada peningkatan & pengembangan kualitas pengajar. Kemerdekaan bernalar tidak boleh sampai tertindas sang regulator, atau orang yg (merasa) lebih senior. Menurut Pak Hendra, kemerdekaan krusial untuk peningkatan kualitas, karena adalah solusi atas ketika dan zaman yg berkiprah terus. Kurikulum Indonesia, dari Pak Hendra, membuat anak tidak merdeka dan cenderung ketinggalan zaman. Kurikulum di Indonesia cenderung membuat anak & pengajar terjebak pada urusan administrasi, tidak membuka ruang bagi anak buat berbagi budaya bernalar, & nir memberi ruang pada guru buat berkembang & menaikkan kualitasnya.

"Anak-anak yang sebagai ?Boneka? Itu mekanis, jadi seperti robot, karena terdapat pengendalinya, dikendalikan sang pihak lain, dalam hal ini kurikulum. Anak-anak hanya memahami kulitnya, misalnya hanya tahu rumusnya saja. Mereka nggak bisa berbuat apa-apa bila nggak pada-input, Hanya anak-anak yang sanggup mempertahankan kemerdekaan berpikir yg sanggup memimpin, sanggup lepas menurut kungkungan zamannya. Tokoh seperti Sukarno bisa melampaui tantangan zamannya, lantaran memiliki penemuan, daya kreatif,", istilah Pak Hendra tentang kemerdekaan anak.

Kemerdekaan juga terkait berani mewujudkan. Dalam hal ini keberanian dalam arti “courage” bukan “brevity”, yaitu mewujudkan apa yang dia pikir menjadi masalah di masa depan. Misalnya orang-orang yang menciptakan ponsel pintar, dia bisa berpikir sejak10 tahun sebelumnya. Orang yang tidak merdeka adalah yang bilang bahwa hal itu tidak mungkin (ada). Kemerdekaan itu dibutuhkan untuk melompat, melampaui zamannya. “Anak-anak perlu didorong untuk membuat sesuatu, bukan sekedar untuk Indonesia, tapi hingga menyumbang karya untuk peradaban, Karya harus terus bermunculan. Saya rasa salah satu bentuk kemerdekaan ya bisa berpikir out of the box. Tidak semua orang bisa seperti Soekarno, hanya orang-orang tertentu yang bisa membuat prediksi untuk 50 tahun yang akan datang.”

Pada tanggal 18 Mei 2013, Prof. Hendra Gunawan dan Prof. Iwan Pranoto dari ITB, Gustaff Hariman Iskandar dari Common Room, Alexander Iskandar dari Eureka, Avivah Yamani dari Langit Selatan dan beberapa rekan lainnya mengadakan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) Festival dengan tujuan mengampanyekan budaya bernalar. Setelah festival diadakan, Pak Hendra merasa misi yang dibawa harus dilanjutkan dalam bentuk lain. “Membangun budaya bernalar itu sesuatu yang penting. Maka saya mengikatkan diri dengan tujuan tersebut, karena ini penting untuk dilanjutkan, dilakukan, juga terutama bagi anak-anak” Awalnya Pak Hendra memiliki ide membangun sekolah virtual, “Sudah sempat mengonsep dan mencari orang-orang yang bisa berkontribusi pada produknya. Namun kemudian ternyata saya lihat, tidak mudah juga.” Pak Hendra lalu berdiskusi dengan salah satu temannya, Bapak Hadi Nitiharjo, Kepala SOS Desa Taruna Kinderdorf, Lembang. Setelah berdiskusi panjang, kemudian keluarlah ide untuk mengetahui: Sebenarnya apa yang dibutuhkan anak-anak? Apa yang ingin anak-anak ketahui? Apa yang ingin mereka pelajari?

Berangkat dari hasil diskusi tersebut, Pak Hendra lalu menggagas Anak Bertanya Pakar Menjawab (www.atpj.com, sekarang menjadi www.anakbertanya.com), sebuah pintu atau media virtual yang disediakan bagi anak untuk menanyakan berbagai hal menarik yang ingin diketahuinya. Dari pertanyaan yang diajukan, tim anakbertanya.com mencarikan jawaban dari para ahli, atau orang yang berkemampuan menjawab sesuai dengan bidangnya. “Ada misi lain yang ingin diwujudkan oleh anakbertanya.com, yaitu mempertemukan anak dengan tokoh yang menjawab pertanyaannya. Mudah-mudahan, orang yang menjawab pertanyaan dapat menjadi sosok panutan atau tokoh idola dari anak-anak itu” Pak Hendra melihat, di Indonesia, anak-anak kekurangan sosok panutan. “Seolah-olah, orang hebat itu harus politisi, artis atau pengusaha yang punya jabatan atau ngetop. Dan sayangnya, banyak di antara mereka yang menjadi terkenal atau memperoleh jabatannya bukan karena kepakaran mereka dalam ilmunya. Memangnya bangsa ini bisa besar jika dikawal tiga golongan itu? Sementara di luar banyak orang hebat yang modal utamanya ilmu mereka. Mereka-mereka inilah yang dapat menjadi panutan bagi anak-anak” tutur Pak Hendra. Pak Hendra juga mengumpulkan profil-profil tokoh-tokoh hebat dunia dalam laman www.indonesia2045.com

Lewat anakbertanya.com, Pak Hendra ingin menggabungkan 3 hal: sosok – bidang keilmuan dan dunia kerja/ profesi. “Dunia sekolah itu inginnya menyiapkan anak untuk punya profesi, tapi ya mesti ditopang oleh keilmuan. Anak-anak harus punya cita-cita supaya tahu dan bisa memilih profesi sesuai dengan minatnya.”

Pak Hendra juga memiliki alasan personal ketika menggagas gerakan Anak Bertanya. “Saya punya anak. Beberapa teman yang bersama saya menggagas ini juga. Saya bisa saja hanya membekali anak saya dengan kemampuan bernalar yang baik. Namun, kalau saya hanya memikirkan anak saya, anak saya nantinya juga tidak akan hidup, karena nanti ia akan hidup dengan anak-anak lainnya. Saya juga harus memerdekakan anak-anak yang lain. Kalau kita memikirkan sesuatu secara intens, pasti nanti ada jalannya.. Misalnya saja, ide tentang menampilkan sosok panutan. Ketika saya punya anak, saya juga perlu bacaan untuk anak saya. Suatu saat, kebetulan ada Seri Buku Tokoh Dunia untuk anak. Ada tokoh-tokoh hebat yang ditampilkan. Dari Indonesia siapa? Saya terinspirasi oleh penulisnya yang mengatakan, 'Saya bukan orang besar tapi ingin menghadirkan orang-orang besar'.”

Dari Online ke Offline: Memperluas Kesempatan Berjumpa Panutan

Gerakan Anak Bertanya memang berbasis dari blog, yang tujuannya mempertemukan pakar dengan anak-anak di dunia maya. “Nah, jadi tantangan juga buat pakar, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak. Menjawab pertanyaan anak-anak lewat tulisan di blog.”

sumber foto: http://semipalar.sch.id/?p=2941)
Pak Hendra juga membuat acara offline Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara pertama diadakan bulan November 2013 di SOS Kinderdorf Lembang berbarengan dengan peluncuran gerakan Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara yang kedua diadakan di Rumah Belajar Semi Palar, Jalan Sukamulya, Bandung. Di kedua acara tersebut, tim Anak Bertanya mengumpulkan banyak pertanyaan dari anak-anak yang kemudian diunggah ke laman Anak Bertanya setelah dijawab oleh pakar yang tepat. Selain mengumpulkan pertanyaan, Pak Hendra juga menggandeng beberapa komunitas yang terbiasa berkegiatan dengan anak-anak untuk menampilkan berbagai kegiatan menarik bagi anak-anak, di antaranya mencoba roket air, membuat kacamata 3D dan awan di dalam botol, dan berbagai percobaan sains. Pertanyaan-pertanyaan anak-anak ini juga sudah dibukukan dalam beberapa jilid buku Anak Bertanya Pakar Menjawab.

Langkah selanjutnya, Anak Bertanya menyelenggarakan Festival Anak Bertanya di tahun 2015 dan 2016. “Di Festival Anak Bertanya, anak-anak dipertemukan langsung dengan pakar dari lembaga-lembaga dengan tema yang berbeda-beda. Penyelenggara perannya menjadi “toko serba ada”. Anak-anak bisa bertanya di booth-booth lembaga, komunitas-komunitas juga masih ada yang perlu memperkenalkan diri. Jadi win-win untuk semua,” kata Pak Hendra.

Dalam keseharian, Pak Hendra lebih banyak berjumpa dengan orang dewasa, karena itu untuk menghadapi anak-anak, ia memiliki trik tersendiri. “Tidak serta merta saya langsung berinteraksi dengan anak-anak. Seperti saat acara pertama Anak Bertanya Pakar Menjawab di SOS Kinderdorf Lembang, saya bawa “pasukan” teman-teman yang biasa berinteraksi dengan anak-anak, seperti Kak Avivah Yamani dari Langit Selatan, Kang Robi DC dari Ensembel Tikoro , Karina Adistiana dari Peduli Musik Anak, waktu itu ikut juga. Ini salah satu ciri khas Anak Bertanya, crowded funding, melibatkan teman-teman dari banyak komunitas yang biasa berinteraksi dengan anak. Kalau saya lebih berperan menggagas saja.”

Memerdekakan Masa DepanPak Hendra membayangkan di tahun 2045, kalau Indonesia masih tetap eksis (itu masih peluang juga, katanya) dan menjadi lebih baik, orang-orang yang mengawal negeri ini terinspirasi, tercerahkan dan memiliki cita-cita tinggi, maka itulah kontribusi laman anakbertanya.com. Misalnya seorang anak menjadi ilmuwan hebat karena terinspirasi datang ke seminar misalnya dan bertemu dengan ilmuwan idolanya. Seperti Neil Tyson, seorang astrofisikawan dunia yang tertarik mempelajari bidang astrofisika karena pengalaman belajarnya bersama Mark Chartrand III, direktur Planetarium dan Carl Sagan, seorang astronomer dari Cornell University. Di bidang lain, ada Joseph Schooling seorang perenang yang mengalahkan idolanya, perenang Michael Phelps pada pertandingan 100 meter gaya kupu-kupu di Olimpiade Rio beberapa minggu yang lalu. Pada tahun 2008, Schooling masih menjadi anak sekolah yang ngefans dengan Phelps. Namun delapan tahun kemudian, Schooling bahkan memenangkan medali emas mengalahkan Phelps di kejuaraan tingkat dunia.

Masa mini dari Pak Hendra krusial lantaran memungkinkan seorang anak bertemu sesuatu yang sanggup berkaitan dengan bakatnya, juga tokoh panutannya. Sementara kini ini di Indonesia masih banyak anak yg tidak berkarya sinkron dengan bakatnya, karena kesempatan itu belum poly tersedia juga belum difasilitasi orang dewasa di sekitar anak. ?Terhadap Joey Alexander, aku kagum, akan tetapi aku lebih kagum lagi pada orang tuanya, karena memberi ruang, bahkan berani pindah mengikuti talenta si anak. Sementara, pada sisi lain, kini poly guru atau ortu jadi ?Pagar? Anak. Pagar diharapkan akan tetapi jangan sampai membatasi anak, Guru & orang tua mestinya membuat anak justru bisa melampaui dirinya dengan kemampuannya.?

Sementara itu, mahasiswa yang dihadapinya sehari-hari punya karakter yang berbeda dari anak-anak. “Untuk level mahasiswa, saya ingin menantang anak-anak muda, bisa apa dengan gadget yang kamu punya, bisa berbagi sesuatu yang original/ ide dari diri sendiri, Untuk apa punya gadget canggih kalau penggunaannya tidak optimal. Janganlah bertanya sesuatu yang jawabannya sudah ada di Google. Kita harus berpikir satu langkah ke depan daripada Google. Tingkat mahasiswa seharusnya sudah bisa produksi game sendiri” imbuh Pak Hendra.

Menyiapkan anak untuk tantangan masa depan acapkali dikaitkan dengan kehidupan berkompetisi dan berkolaborasi. Bagi Pak Hendra, sangat disesalkan bila kemampuan kita digunakan buat berkompetisi dengan orang lain. Baginya, kompetisi merupakan upaya kerja keras untuk melawan diri sendiri, berjuang buat mencapai misi eksklusif. Misi langsung kita mestinya mendukung misi besar & menggunakan demikian kita perlu berkolaborasi. Makanya, anak perlu punya hasrat, sebagai akibatnya memahami langkah-langkah yang harus dilakukan. Sehingga jikalau orang tua memasukkan anaknya ikut les, kursus dan sebagainya, lesnya itu menjadi bermakna.

Mimpi-mimpi Pak Hendra yang lain ia wujudkan dalam dua buah buku yang telah ditulisnya: Lingkaran dan Menuju Tak Terhingga. Dalam kedua buku tersebut, Pak Hendra menulis dengan bercerita. “Jadi tidak seperti textbook, tapi ada sejarahnya juga. Seperti di buku Lingkaran, saya sebut “hantu” Lingkaran, tapi ini “hantu” yang kita mau pecahkan misterinya bersama-sama.” Tambahnya,”Selain menjadi dosen, saya punya tujuan-tujuan lainnya, menulis buku, mengisi blog.”

Sekali lagi, Pak Hendra menekankan , buat mewujudkan mimpi kita perlu punya cita-cita kuat & mengikatkan diri dalam tujuan tersebut. ?Makanya saya tidak terlalu terpengaruh pada penggantian-penggantian menteri, mau pejabatnya ganti, presidennya ganti, aku telah punya tujuan aku , yang penting untuk aku wujudkan.?

Profil:

Prof. Hendra Gunawan

Dosen Matematika ITB 1988 ? Kini

Blogger sejak 2013:

www.Indonesia2045.Com, www.Anakbertanya.Com, www.Bersains.Wordpress.Com, www.Bermatematika.Net

Inisiator Anak Bertanya 2013: Blog ditampilkan sejak Mei 2013, Peluncuran gerakan di November 2013

Senin, 04 Mei 2020

[RUMAH KAIL] PERJALANAN KAIL MEMPRAKTEKKAN KESADARAN AKAN KEMANDIRIAN

Oleh: Deta Ratna Kristanti

Menjadi berdaya adalah sebuah kemewahan. Menjadi berdaya berarti memiliki kebebasan buat menentukan arah dan langkah yg dipilih buat tujuan kehidupan yg lebih berkualitas. Salah satu upaya yang dilakukan untuk sebagai berdaya adalah menciptakan kemandirian buat diri sendiri. Jika kita mengusahakan hidup berdikari adalah kita menggunakan berkesadaran berusaha tidak tergantung pada pihak lain pada pemenuhan kebutuhan kita. Sebab, apabila masih tergantung pada pihak lain,mungkin saja pihak lain tadi menyumbangkan hal yang berdampak negatif atau nir sinkron dengan prinsip atau kualitas hidup yang ingin kita capai.

Tentu saja, bukan berarti ketika kita mengupayakan kemandirian, kita menjadi tidak peduli dengan keberadaan pihak lain. Sulit juga membayangkan bahwa kita akan mampu 100% memenuhi semua kebutuhan hidup kita. Yang dapat kita perbuat adalah meningkatkan kesadaran dan aksi kita untuk mengurangi ketergantungan sampai sekecil mungkin. Ingatkah anda dengan salah satu peringatan di pesawat: Pakailah dulu masker Anda sebelum menolong yang lain? Kira-kira seperti itulah gambaran kemandirian yang kita upayakan. Ketika kita mampu menolong diri sendiri dan sudah  berdaya, maka kita juga bisa menolong pihak yang lain.

Perkumpulan KAIL didirikan dengan misi dan tujuan buat membantu para aktivis berbagi diri sebagai akibatnya bisa berkontribusi lebih baik bagi global. Oleh karena itu, KAIL sebagai sebuah organisasi perlu mengupayakan kemandirian terlebih dahulu pada pada dirinya sendiri agar bisa menolong para aktivis atau forum yg membutuhkan layanannya. Selain itu, setiap upaya kemandirian yg dilakukan KAIL juga bertujuan menaruh donasi bagi global yg lebih baik, utamanya lingkungan alam dan makhluk di sekitarnya.

Rumah KAIL & pekarangan yg ditanami flora pangan

Kesadaran KAIL buat mengusahakan kemandirian sudah berlangsung lama . Selama 17 tahun berkarya, KAIL nir pernah tergantung pada satu pun forum donor pada pendanaan acara-acara internalnya. Hal ini adalah galat satu upaya KAIL untuk membebaskan diri menurut ketergantungan menurut pihak yang lain. Apabila pendanaan KAIL bergantung dalam forum donor, mungkin akan mengganggu kontinuitas KAIL buat berkarya selama ini. Selain itu, ketergantungan tersebut mungkin dapat mengganggu perjalanan KAIL ke arah pencapaian visi dan misi organisasi.

Sejak tahun 2013, KAIL membangun tempat permanen untuk melakukan segala aktivitasnya, yaitu Rumah KAIL. Memiliki tempat yang permanen berarti harapannya KAIL dapat lebih banyak mempraktekkan ide-ide kemandirian yang selama ini telah diketahui. Langkah pertama yang dilakukan KAIL sebagai wujud mempraktikkan kemandirian adalah merancang bangunan dengan sistem rumah yang selaras dengan alam. Misalnya, memilih bahan kayu bekas untuk membangun rumah KAIL. Memilih menggunakan ulang bahan bekas sehingga mengurangi timbulan sampah serta menghemat biaya merupakan wujud kemandirian di mana KAIL melepaskan ketergantungan terhadap bahan baru dan barang baru. Selain itu, pembuangan Rumah KAIL juga dirancang tersambung dengan kompor biodigester sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap gas elpiji.

Kompor biodigester

Kubah biodigester yang ditanam di bawah tanah

Area yg relatif luas di Rumah KAIL selain terdapat rumah, pula tanah yg dimanfaatkan buat kebun. Kebun KAIL dibuat buat mendukung kemandirian pangan pada Rumah KAIL. Berbagai flora konsumsi ditanam di area Kebun KAIL, termasuk bumbu-bumbu yg bisa dimanfaatkan buat menciptakan kuliner menjadi lebih sedap. Saat sedang dilaksanakan pelatihan atau workshop, ataupun rapat-rapat di Rumah KAIL, sebisa mungkin makanan yang disajikan untuk peserta pembinaan maupun staf & relawan KAIL dari dari kebun KAIL. Talas, daun singkong, daun, bunga & buah papaya, cabe rawit, daun pseudo ginseng, serta bumbu-bumbu misalnya kunyit, jahe, kencur, dan pandan disulap sebagai minuman jamu yg menyehatkan. Tak ketinggalan buah-buahan misalnya pepaya, pisang, jambu, atau nangka menjadi sajian snack sehat apabila kebetulan sedang panen.

Kebun KAIL dikelola dengan prinsip selaras menggunakan alam. Sisa-sisa makanan maupun bagian kulit bahan makanan yang nir terpakai dibuang pulang ke kebun KAIL hingga sebagai kompos yg menaikkan kesuburan tanah di kebun KAIL. Perlu diceritakan bahwa awalnya tanah di kebun KAIL merupakan tanah berjenis lempung atau misalnya tanah liat yang lengket, yg sulit untuk diolah dan ditanami. Di awal pengolahannya, Kebun KAIL membutuhkan media tanam menurut luar yang dicampurkan dengan tanah di Rumah Kail, dan melakukan pengomposan langsung pada tanah KAIL sebagai akibatnya dalam akhirnya tanah kebun pada tempat tinggal KAIL menjadi subur sebagai akibatnya dapat ditanami & dinikmati hasilnya lalu.

Beraneka jenis tumbuhan di kebun KAIL

Kebun KAIL sebagai pintu masuk yang paling memungkinkan buat mempraktekkan upaya kemandirian di Rumah KAIL karena tanah yang telah diolah, diatur, ditanami, & dirawat kemudian dapat menghasilkan panen yg sanggup dikonsumsi. Untuk memberi perhatian spesifik pada pengelolaan kebun, KAIL menciptakan sebuah divisi spesifik bernama Kebun KAIL. Ada orang- orang yang bertugas memperhatikan perawatan Kebun KAIL. Tetapi, apakah selanjutnya proses pengelolaan Kebun KAIL menuju kemandirian sebagai mudah? Ternyata nir.

.

Banyak juga hambatan yang dijumpai yang membuat Rumah KAIL belum dapat mencapai kemandirian pangan dengan upaya maksimal. Ada banyak faktor yang memengaruhi. Salah satunya urusan menyesuaikan jadwal produksi dan panen pangan dengan jadwal pelatihan yang ada di rumah KAIL. Maksudnya bagaimana? Seringkali ketika di KAIL sedang tidak ada jadwal pelatihan atau workshop, buah-buahan yang sudah siap panen jumlahnya banyak. Akibatnya, jumlah panenan terlampau banyak, sedangkan orangnya sedikit. Sementara ketika ada jadwal pelatihan, hasil kebun yang dapat dipanen saat itu jumlahnya sedikit, sehingga mau tidak mau sebagian konsumsi harus dipenuhi dari warung atau pasar. Staf yang berinisiatif untuk menambah pengetahuan serta waktu untuk bereksperimen belum tersedia sehingga program pengolahan pasca panen yang dapat memanfaatkan hasil kebun yang berlebih ketika panen  juga belum terlaksana. Meskipun sistem sudah dibuat oleh Divisi Kebun KAIL, pada praktiknya ditemui kendala juga karena koordinasi dan komunikasi antar staf yang bertugas tidak terlalu berjalan dengan lancar. Jadi selain sistem yang diatur pada kebun, ternyata ada sistem lain yang terkait, yaitu sistem komunikasi antar staf yang bertugas mengurus Kebun KAIL.

Ada banyak ide kemandirian di Rumah KAIL yang belum dapat dipraktikkan secara konsisten hingga saat ini. Dalam rangka menambah pengetahuan tentang pengolahan dan pemanfaatan bahan-bahan alami, serta melepaskan ketergantungan pada produk pabrik, memang pernah diadakan beberapa workshop yang menghadirkan narasumber, misalnya membuat kombucha jus enzim, kimchi, serta pembuatan pembersih alami untuk lantai, kaca, dan meja. Beberapa staf sudah memiliki pengetahuan melalui workshop-workshop tersebut.  Tapi saat ini, praktiknya belum dilakukan di rumah KAIL. Padahal, misalnya cuka kombucha dapat dimanfaatkan sebagai pengganti sabun dalam mencuci piring. Pernah dicoba, namun saat ini tidak lagi.

Dalam hal pengelolaan sampah, Rumah KAIL juga belum sepenuhnya mencapai kemandirian. Memang, sampah organik yang dihasilkan dari dapur Rumah Kail sudah 100% dapat dikembalikan ke kebun dan bermanfaat untuk menambah kesuburan tanah KAIL. Namun, untuk sampah anorganik, meskipun sejak awal KAIL berkomitmen untuk sesedikit mungkin menggunakan barang yang berkemasan plastik. Namun, pada prakteknya tetap masih terkumpul sampah plastik terutama dari pembelian barang-barang yang masih dibutuhkan KAIL dari luar, misalnya plastik pembungkus spidol, kaplet obat-obatan, sisa potongan sampul plastik dan banyak lagi.  Kadang-kadang ketika membersihkan Rumah KAIL ditemukan juga sampah-sampah dari makanan dan minuman berkemasan yang mungkin dibawa angin atau dibuang oleh orang yang lewat di halaman rumah KAIL. Hal ini terkadang menambah sampah yang ada di rumah KAIL. Untuk penanganan sampah non-organik, Rumah KAIL masih tergantung pada tukang sampah atau tempat pembuangan sampah yang ada di sekitar Kail. Meskipun begitu, KAIL tetap mengupayakan untuk mereduksi jumlah sampah non-organik misalnya jika perlu membeli bahan makanan, staf KAIL akan membawa tas belanja sendiri. Juga ketika membeli makanan di warung, KAIL selalu membawa tempat bekal sendiri untuk mengurangi jumlah sampah plastik yang masuk ke Rumah KAIL. Rumah KAIL juga mencari warung-warung yang menjual bahan pokok yang dapat dibeli dengan sistem curah, sehingga kebutuhan  beras atau gula dapat dibeli menggunakan wadah sendiri. Setidaknya ini upaya yang dapat dilakukan Rumah KAIL untuk mengurangi ketergantungan terhadap sistem pembuangan sampah di luar, yaitu dengan sesedikit mungkin menghasilkan sampah anorganik yang perlu dibuang.

Dalam hal asal air, KAIL pula masih tergantung pada air yg berasal berdasarkan mata air yang disalurkan lewat pipa kolektif. Ini berlaku buat seluruh keperluan, dari memasak sampai urusan menyiram tumbuhan. Untuk air minum sehari-hari, KAIL memakai air dari keran yg dimasukkan ke filter air berdasarkan tanah liat yang kemudian dapat pribadi diminum. Namun, apabila kegiatan di Rumah KAIL melibatkan puluhan orang, KAIL masih tergantung pada air galon isi ulang. KAIL sebenarnya memiliki bak tampungan air hujan, namun belum berfungsi karena bocor.

Meskipun ide-ide dan pengetahuan tentang kemandirian telah diketahui dan disadari selama bertahun-tahun, dan KAIL telah memiliki tempat sendiri yang permanen, nyatanya tidaklah mudah mewujudnyatakan ide-ide tersebut. Tidak lantas mudah pula melepaskan diri dari ketergantungan pada pihak lain dan menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan.  Beberapa hambatan di Rumah KAIL antara lain pengetahuan staf yang tidak sama, belum dibangunnya atau dijalankannya sistem untuk masing-masing hal yang diupayakan untuk kemandirian, serta belum adanya fokus perhatian dan kesediaan yang cukup dari semua orang yang terlibat di KAIL terhadap upaya ini. Saat ini, karena aspek kebun mendapat perhatian paling dominan maka sudah dapat dilihat hasilnya. Jika ingin aspek-aspek lain di rumah KAIL juga berkembang untuk mendukung upaya kemandirian, maka perlu dibangun sistem-sistem pendukung termasuk keterlibatan orang-orang di dalamnya secara bersama-sama.

[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 23/ AGUSTUS 2019

Salam Semangat Kemerdekaan!

Di bulan Agustus, bulan kemerdekaan ini, Proaktif Online balik terbit. Kemerdekaan kali ini diterjemahkan sebagai kemandirian dan kedaulatan diri buat memilih berbagai hal penting dan kebutuhan mendasar dalam kehidupan. ?Mandiri Memilih: Berdaulat buat Memenuhi Kebutuhan Diri? Sebagai tema yg dipilih buat Proaktif Online edisi no.23/2019 kali ini. Bisa menentukan berarti merdeka buat mempertinggi kualitas hidup, meski pilihan yg diambil tidak umum dipilih oleh masyarakat. Peningkatan kualitas hidup berarti tidak hanya memikirkan diri sendiri, namun meningkatnya juga kepedulian pada makhluk lain & keselarasan hayati menggunakan alam semesta. Para aktivis yang sebagai penulis di edisi kali ini menyadari betul akan hal ini.

Pada rubrik MASALAH KITA, Kristien Yuliarti menceritakan kegelisahannya tentang upaya menjaga kebersihan tanpa mencemari lingkungan. Ia yakin, terdapat bahan lokal yang ramah lingkungan yg dapat dipakai menjadi alternatif sabun pabrikan. Berkenalanlah ia menggunakan lerak, berdirilah Omah Hijau menjadi jalan baginya mensosialisasikan lerak. Tetapi demikian, berkiprah sendiri, ternyata tidaklah gampang. Seringkali tanpa teman berakibat perubahan sulit dilakukan. Inilah konflik yg dialami Karina Adistiana, penulis pada artikel kedua dalam rubrik MASALAH KITA. Ternyata kemandirian menentukan tidak dan merta menciptakan perubahan jadi gampang. Psikolog dan aktivis pendidikan ini memaparkan bahwa eksistensi sahabat dalam melakukan perubahan menjadi aspek penting bagi keberhasilan kita pada upaya memperjuangkan kedaulatan pangan dan hayati selaras alam.

Di rubrik PIKIR, ada Mayang Manguri yang mengajak kita berpikir bersama dalam memilih gaya hidup. Apakah memilih gaya hidup yang tren di masyarakat membuat kita menjadi berdaulat? Atau pilihan gaya hidup yang lain dan tidak populer, seperti frugal living membuat kita menjadi lebih sejahtera? Ternyata kemandirian dalam memilih pun ada resikonya. Karena, menjadi mandiri berarti bertanggung jawab dengan pilihan hidup kita. Hal inilah yang disampaikan Any Sulistyowati dalam Rubrik OPINI.

Di rubrik TIPS kali ini, Fitri Kusnadi menyebarkan kiat-kiat berdasarkan pengalamannya ketika menentukan menyelenggarakan pendidikan mandiri bagi keluarganya. Konsekuensi bahwa kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap pendidikan & anak merupakan salah satu tips yg disampaikannya. Sedangkan penulis artikel selanjutnya pada rubrik TIPS, Rensti Raharti, memaparkan cara-cara menjalankan gaya hidup minim sampah yg sederhana dan dapat dimulai menurut tempat tinggal , sekaligus memberi contoh gaya hidup ini kepada anak, agar kemandirian & kedaulatan hayati bisa dilanjutkan dalam generasi selanjutnya.

Siapa yang tak kenal SHINE?  Platform pendidikan informal yang memberdayakan masyarakat dengan pelatihan-pelatihan terutama produk sehari-hari yang selama ini menimbulkan ketergantungan masyarakat pada produk berkemasan. Dalam rubrik PROFIL, Kandi Sekarwulan mengangkat sepak terjang Ines Setiawan, pendiri dan penggerak SHINE. Kita tentu dapat belajar dan menerima inspirasi dari Ines tentang bagaimana ia bisa sampai kepada pemikiran dan lakunya untuk menjadikan sebanyak mungkin orang berdaulat atas dirinya untuk memenuhi kebutuhan diri.

Sedangkan pada goresan pena yg ke 2 dalam rubrik PROFIL, Kukuh Samudra mengangkat kisah Mbah Paiman, seseorang petani ?Terbelakang? Pada daerah Karanganyar, yang mempertahankan cara bertani menggunakan berdaulat: organik, menanam menurut bibit hasil panen serta membuat kompos sendiri. Keputusan ini diambil secara berdikari sang Mbah Paiman, sekalipun dianggap aneh sang orang-orang di sekitarnya.

Pada rubrik MEDIA, Sally Anom Sari mengangkat beberapa film yang mengangkat kemandirian hidup & pemenuhan kebutuhan diri. Dalam rubrik JALAN-JALAN, Debby Josephine mengajak kita ke sebuah tempat yang mengupayakan kemandirian dan kedaulatan pangan, sebuah loka pada perbatasan Kota Bandung & Cimahi, yg bernama Kebun Belakang.

Terakhir, Navita Kristi Astuti bercerita tentang bagaimana selama ini KAIL menjalankan kemandirian di Rumah KAIL, dengan memanfaatkan bagian rumah dan kebun. Masih banyak tantangan untuk mewujudkan KAIL sebagai rumah nol sampah (zero waste). Namun ada beberapa sistem yang telah berjalan di Rumah KAIL yang secara perlahan-lahan tapi pasti ikut mendukung peningkatan kualitas hidup anggota KAIL, relawan dan mitra yang berkunjung maupun makhluk hidup yang lain yang juga tinggal di Rumah KAIL.

Semoga artikel-artikel di dalam edisi ini menambah permenungan bagi para pembaca terkait kemerdekaan & kedaulatan dalam menentukan kehidupan yang sehat dan selaras alam.

Editor:

Deta RatnaKristanti

Cloud Hosting Indonesia