Kamis, 16 Juli 2020

[Pikir] Multi Beban atau Multi Peran: Ketidakadilan atau Anugerah?

Tini (33th), adalah seseorang perempuan yg sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Sebagai wanita muda yang cerdas & terampil, pada loka kerjanya Tini dianggap sebagai manajer personalia. Setiap hari beliau bangun pukul 04.00, lalu mulai mengerjakan pekerjaan rutinnya: mengolah, membuatkan kopi dan juz untuk anak & suami, menyiapkan sandang anak & suaminya, membangunkan dan memandikan anaknya, serta menyiapkan anaknya ke sekolah juga menyiapkan dirinya buat ke tempat kerja. Pukul 06.00 mereka sekeluarga pulang, suaminya ke kantor, anaknya ke sekolah & dia sendiri ke kantornya. Pulang menurut tempat kerja, Tini eksklusif ganti pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makan malam, memandikan anak, menemani anak mengerjakan tugas & belajar, serta menidurkan anaknya.
Rutinitas seperti ini dia jalani dari hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu umumnya ia isi menggunakan mencuci dan menyetrika, ikut pengajian & arisan di RT, dan menemani anak bermain pada taman kota. Sedangkan hari Minggu umumnya ada pertemuan mak -bunda Dharma Wanita ataupun kelompok PKK. Tini mesti ikut pertemuan ini walaupun dia malas sebenarnya, karena Tono suaminya merupakan pegawai negeri yg sedang dipromosikan jabatannya. Demi menunjang karier oleh suami, Tini diminta buat aktif pada kegiatan Dharma Wanita & jua aktivitas-aktivitas lainnya pada kantor Tono.
Kisah Tini di atas merupakan sebuah kisah ?Biasa? Yg dialami oleh banyak perempuan pada Indonesia.

Ketiga kiprah atau kerja ini, yaitu kerja reproduktif, produktif & sosial, umumnya hanya pada?Wajib ?Kan bagi wanita. Kerja atau peran yg dikonstruksi & disosialisasi ini sebagai beban yang bertumpuk bagi seseorang perempuan . Dari seluruh pekerjaan, perempuan mengerjakan lebih banyak akan tetapi dibayar lebih rendah. Jam kerja & curahan tenaga kerja wanita lebih poly menurut laki-laki . Bahkan, seseorang bunda pernah mengatakan pada saya bahwa beliau merasa sangat bersalah saat beliau ingin berjalan-jalan di pertokoan sekedar buat bersantai sejenak. Ia merasa egois lantaran wajib meninggalkan anak dan suaminya buat ?Bersenang-bahagia?. Hidup bagi seorang wanita (ibu) adalah buat membahagiakan keluarganya (yang berarti anak dan suaminya-sering nir termasuk dirinya).
Kondisi beban yang bertumpuk ini biasanya dikenal sebagai istilah ”Multi Beban”, dan oleh kalangan feminis disebut sebagai salah satu dari lima bentuk ketidakadilan gender (Stereotiping/pelabelan/citra negatif, kekerasan, multi beban, marjinalisasi/peminggiran secara ekonomi, dan subordinasi/penomerduaan).
Sekarang, kita lihat kelanjutan kisah Tini-Tono 2 puluh tahun kemudian:
Tono (65th) baru saja memasuki masa pensiunnya. Perayaan pelepasan diadakan besar-besaran di kantornya dan juga di rumahnya. Tini dan Sofie, anaknya sibuk memasak dan menyiapkan pesta di rumah. Semua kerabat dan handai taulan hadir untuk mensyukuri masa purna kerja Tono. Pada minggu-minggu awal masa pensiunnya, Tono sungguh menikmati kebebasan hidupnya. Kini ia terbebas dari kewajiban untuk berangkat kantor dan bekerja 8 jam sehari. Ia bisa berjalan-jalan dan tidur semaunya, menonton film dan berbelanja. Tapi, setelah satu minggu, semua tempat sudah ia datangi, semua film sudah ia tonton, tidurpun sudah puas. Ia mulai bosan dan kesepian di rumah sendiri, karena Sofie bersekolah sedang Tini sekarang menjadi asisten direktur yang semakin sibuk. Tono ingin beraktifitas lagi, ia mencari-cari kesibukan di rumah. Ia ingin membuat kejutan untuk istri dan anaknya dengan membuat pesta kecil-kecilan. Ia ingin mulai dengan membersihkan rumah dan mendekorasinya, kemudian masak makanan istimewa. Tapi, ketika ia memulai pekerjaannya, Tono kesulitan mencari alat-alat rumah tangga yang ia butuhkan. Ia juga tidak tahu caranya mengepel dengan alat pel yang mereka punya, tidak tahu dimana letak pisau dan alat dapur, tidak tahu cara menyalakan kompor, juga tidak tahu segala macam bumbu yang ada. Tono akhirnya frustasi, ia menggagalkan rencananya. Ia akan membuat kopi saja untuk dirinya. Tapi sekali lagi ia tidak tahu dimana Tini menyimpan kopi dan gula, dan berapa ukuran kopi dan gula yang biasa Tini buat untuk dirinya.
Ketika Tini pergi, Tono mulai bertanya-tanya poly hal tentang urusan tempat tinggal tangga dalam Tini. Dasar sudah mulai tua, Tono suka lupa hal-hal yang sudah dikatakan Tini sebagai akibatnya kerapkali Tono mengulangi pertanyaan yg sama. Akhirnya Tini ikut frustasi pula.
Tono sekarang berpikir buat mengalihkan kegiatannya di luar rumah. Ia yg biasanya menjadi pemimpin di tempat kerja dan rumahnya akan meninggal kebosanan bila hanya duduk diam pada rumah seperti orang jompo. Ia mencoba ikut kegiatan di lingkungannya, akan tetapi kebanyakan kegiatan itu dihadiri sang ibu-mak .
Nah, kasus si Tono ini biasanya dikenal sebagai ”Post power syndrome”, yang memang seringnya berjangkit pada bapak-bapak yang sudah mulai pensiun atau tua. Mereka yang biasanya bekerja produktif-menghasilkan uang yang notabene simbol kekuasaan; dan juga biasanya menjadi pemimpin, sekarang harus kehilangan semuanya. Ketika mereka ingin beralih ke kerja reproduktif dan sosial, seringkali mereka ”kagok ” atau tidak terbiasa.
Pembagian peran gender yang berujung pada Multi beban bagi perempuan, ternyata punya dampak juga bagi laki-laki. Beban berlipat di satu sisi menjadi multi-ketrampilan di sisi lain, yang bisa menjadi bekal untuk bertahan hidup (jika si subyek belum keburu ’tewas’ karena keberatan beban- dengan kata lain jika ia menjadi survival). Sebaliknya, kekuasaan yang berlipat di satu sisi mendatangkan ’kuasa’ tapi juga keterpurukan ketika ia hilang. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan multi peran/kerja menjadi keterbatasan modal untuk bertahan hidup ketika kuasa tidak ada lagi. (ID)










Cloud Hosting Indonesia