Selasa, 16 Juni 2020

[MASALAH KITA] Keluarga Aktivis, Aktivisme, dan Kasih Sayang

Oleh: Kontributor Pro:aktif Online


Sumber gambar:
http://moeslema.com/kontes-my-familiy-my-inspiration/
Buat saya seorang aktivis adalah sesorang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apa yang menjadi concern  seorang aktivis bisa bervariasi baik dari isu lingkungan, masalah keadilan sosial, isu pendidikan, dan sebagainya. Cara memperjuangkannya juga bisa berbeda-beda. Ada yang aktif di LSM, ada yang merancang gerakan politik, ada yang menjadi relawan di berbagai tempat, ada yang menulis melalui media, dan sebagainya.  Yang jelas, bagi seorang aktivis, apa yang diperjuangkannya  lebih dari sekedar untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas.


Saya sendiri nir tahu apakah mampu mendefinisikan famili saya sebagai keluarga aktivis atau bukan. Yang jelas, tidak semua anggota keluarga saya merupakan aktivis. Kedua saudara termuda saya merupakan profesional di bidang masing-masing. Yang satu jadi wiraswasta & yang lain bekerja menjadi seseorang arsitektur pada sebuah perusahaan. Namun, kentara kedua orang tua saya adalah seseorang aktivis. Tetapi aktivitas Bapak juga Ibu (Almh) sedikit tidak sinkron.


Ibu saya sebenarnya dulu seorang arsitektur profesional. Namun, sejak muda beliau punya ketertarikan terhadap bidang-bidang sosial. Ketika masih mahasiswa beliau menghabiskan waktu luang menjadi reader tuna netra, mengurus anak-anak di panti asuhan, mengumpulkan darah untuk donor darah, dan sebagainya. Ketika beliau sudah berkeluarga dan berkarir, beliau tetap menyempatkan waktu untuk berkegiatan sosial, baik dengan mengedarkan dan merancang sistem pendistribusian buku bacaan untuk anak jalanan, membantu mendirikan taman bacaan, menyumbang pemikiran untuk mengurus pengungsi di Poso, dan ikut terbang ke daerah konflik untuk menghibur anak-anak yang ada di sana.
Lalu, suatu hari beliau terkena kanker. Beliau kemudian  mendirikan Cancer support group untuk saling mendukung sesama penderita kanker baik dengan memberikan informasi mengenai kanker, saling menyemangati, ataupun menemani mereka saat akan melakukan kemoterapi. Meskipun bekerja sebagai seorang profesional, saya bisa mengatakan bahwa ibu saya adalah seorang aktivis karena dengan sengaja berpartisipasi aktif untuk menjadikan dunia lebih baik.

Bapak saya, jelas adalah seorang aktivis. Saat masih menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai dari merancang balai pengobatan untuk mahasiswa, mengkampanyekan gerakan anti kebodohan, menuliskan buku putih untuk menentang pemerintahan Soeharto sampai akhirnya beliau dipenjara. Selama beliau dipenjara, ibu saya mengunjunginya setiap hari sambil membawa makanan dan kliping berisi tulisan dan gambar terkait isu-isu kemanusiaan dari koran untuk menghibur Bapak selama di penjara.  Setelah keluar dari penjara, beliau memilih menjadi akademisi dan peneliti. Namun, jiwa aktivismenya tidak pernah pudar. Sampai kini pun, beliau masih terus bergerak dengan berbagai cara (demonstrasi, menulis, mengorganisir gerakan, dsb) untuk menjadikan Indonesia lebih baik.


Seperti apa rasanya tinggal pada keluarga pada mana kedua orang tua merupakan aktivis? Menurut aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mungkin ada beberapa hal yg nir lazim terjadi pada keluarga lain, pada antaranya tamu yang terus menerus tiba ke rumah, adanya ancaman menurut pihak luar, dan ketika bersama famili yang terbatas.


 Teman aku menikahi seorang aktivis & pernah bercerita bahwa poly tamu di rumahnya. Saking seringnya terdapat orang yang menginap, anaknya yang berusia dua tahun sangat terbiasa tinggal beserta orang selain keluarga. Hal yg sama juga terjadi di keluarga saya. Ibu saya pernah bercerita, bahwa ketika aku bayi, tamu yg datang ke rumah nir habis-habisnya. Kopi, teh, & gula wajib selalu tersedia. Piring & gelas pun terus menerus harus dicucui. Tamu bukan hanya banyak, tetapi pula mampu berkunjung dari pagi sampai malam hingga pagi lagi, umumnya mereka tiba buat mendiskusikan aneka macam hal.


Ketika saya mulai remaja, bapak saya sudah punya kantor sendiri sehingga sebagian tamu beralih bertamu ke kantor tersebut. Sebagian lagi bertamu ke rumah.  Sebenarnya, kedatangan tamu-tamu tersebut sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya terbiasa berhubungan dengan berbagai jenis orang dari berbagai latar belakang. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan politisi, wartawan, pemimpin organisasi (buruh, keagamaan, lingkungan, dsb), penulis, mahasiswa, dan sebagainya. Biasanya tamu-tamu tersebut diajak makan bersama keluarga saya. Di meja makan itulah mereka mendiskusikan berbagai hal dari isu kemanusaiaan, politik, ekonomi, sampai isu kenegaraan. Biasanya saya hanya jadi pendengar saja tapi itu saja menyenangkan. Tanpa disadari wawasan bertambah.


Tentu saja, meskipun banyak teman, seorang aktivis tidak selalu disukai orang lain. Kegiatan aktivisme seringkali dianggap mengancam penguasa. Waktu kecil dulu, beberapa kali saya mendapat telepon berisi ancaman pembunuhan. Usia saya masih 7 atau 8 tahun saat itu. Waktu itu tentu saja ada rasa takut pada pada hati. Tapi lama -lama aku cuek saja. Tetapi, secara umum, saya merasa ancaman yang terjadi pada keluarga saya tidak separah famili-keluarga aktivis lain. Saya pernah mendengar berdasarkan bapak, seorang temannya, perempuan beranak 2, rumahnya dilempari bangkai anjing. Itu masih belum parah, ada beberapa anak berdasarkan keluarga aktivis yang harus kehilangan orang tuanya karena diculik ataupun dibunuh penguasa. Karena memahami resiko-resiko semacam ini, ke 2 orang tua selalu meminta aku hati-hati, nir asal-asalan bicara. Mereka mengajari saya bahwa kadang insan sanggup menjadi kejam, tapi itu nir berarti kita harus kehilangan kemanusiaan.


Karena kedua orang tua bekerja sambil menjadi aktivis, sebenarnya mereka banyak berpergian dan kadang pulang larut malam. Hal itu wajar karena selain mencari nafkah, mereka juga banyak sekali kegiatan baik berdiskusi, berkegiatan bersama masyarakat, mengorganisir massa, melakukan aksi, berkeliling Indonesia, dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian keluarga, hal seperti ini tidak wajar. Penting sekali untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama keluarga. Namun, saya tidak melihatnya begitu. Meskipun ibu dan bapak tidak selalu di rumah, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang mereka. Sejak saya kecil saya tahu bahwa mereka di luar rumah untuk melakukan kebaikan.  Saya selalu tahu, bahwa setiap langkah dalam hidup mereka selalu digerakkan oleh kasih sayang.



Sumber gambar: http://www.believeoutloud.com/latest/love-based-activism
Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang. Ketika kita melakukan kebaikan bagi sesama manusia, hati kita akan semakin dilimpahi dengan kasih sayang. Kasih sayang ini akan dirasakan oleh siapapun yang ada di sekitar kita, termasuk keluarga. Kedua orang tua saya adalah orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk orang lain. Untuk orang lain saja, kasih sayang mereka melimpah, apalagi untuk anak-anaknya. Meskipun tak selalu di rumah, kasih sayang ini selalu terasa. Tidak habis-habisnya.


Rasanya akan sangat sulit menjadi aktivis kalau tidak punya rasa kasih sayang yang melimpah. Karena menyayangi alam, seorang aktivis lingkungan tidak akan lelah berjuang agar alam ini bisa terjaga keberlangsungannya. Karena menyayangi setiap manusia, seorang aktivis kemanusiaan rela berkorban agar keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan.  Seorang aktivis bisa saja menjalani hidup yang ‘tidak selalu lazim’. Namun apa yang membuat bertahan adalah sesuatu yang sangat mendasar, kasih sayang.




























Cloud Hosting Indonesia