Oleh: Aristogama
Pernahkah engkau membeli buku kemudian akhirnya buku itu nir dibaca & menumpuk di sudut ruangan atau rak? Jika pernah, kamu nir sendiri. Saya jua keliru satu berdasarkan orang yg melakukan tsundoku. Menurut Wikipedia, tsundoku (Bahasa Jepang: ???) adalah memperoleh bahan bacaan namun membiarkannya menumpuk pada tempat tinggal tanpa membacanya.
![]() |
Tsundoku |
Ada beberapa alasan kenapa aku memiliki norma ini. Sewaktu kecil aku merupakan anak yang penyendiri. Saya lebih suka di rumah dari pada bermain di luar lantaran anak-anak lain mampu kejam. Mereka kerap mengolok-olok aku sebagai akibatnya aku malas berteman menggunakan mereka. Saya menemukan kenyamanan & kedamaian menggunakan membaca buku. Buku adalah sahabat terbaik aku yang mengerti diri saya dan nir mengejek aku . Jadi, aku selalu mengasosiasikan kitab menggunakan kenyamanan, ketenangan, loka yang kondusif, dan hal-hal positif lain.
Alasan lain adalah, walaupun saya suka buku dan bahagia membaca, dalam ketika saya sekolah & kuliah, saya nir punya poly uang buat membeli buku sehingga aku kerap meminjam atau bertukar kitab menggunakan teman-sahabat pada sekolah atau kampus. Setiap kali aku pergi ke toko kitab , saya hanya sanggup memandangi kitab -kitab yg berjajar di rak & berandai-andai saya punya relatif uang untuk membelinya. Wajar saat aku punya penghasilan sendiri, sebagian akbar saya habiskan buat membeli buku.
Sebenarnya nir terdapat yang keliru menggunakan kebiasaan ini sendiri. Masalah ada saat terdapat keterbatasan ruang penyimpanan atau dana. Saya pun mengalami kasus-masalah itu. Dahulu saya tinggal pada Bogor. Di rumah orang tua saya, kamar saya relatif luas & aku bisa menyimpan relatif banyak buku di sana. Namun, kamar aku tidak dipasangi AC & cuaca pada Bogor sangat lembab sehingga kertas kitab -buku saya terkadang menguning. Debu jua dengan cepat menebal apabila tidak acapkali dibersihkan.
Saya jua bermasalah dengan pengaturan keuangan yang berkenaan menggunakan kitab . Sering saya membeli kitab secara impulsif. Tentu saja saya punya alasan tetapi alasan tersebut kerap kali merupakan rasionalisasi yg dibentuk-buat. Misalnya, nir apa membeli kitab ini, karena kitab merupakan investasi, kitab adalah jendela global, buku bermanfaat lantaran banyak warta bermanfaat di dalamnya & kamu bisa belajar poly darinya. Terkadang saya pula menyampaikan kepada diri sendiri, kapan lagi bisa menemukan buku ini, beli saja, lebih baik menyesal membeli daripada menyesal tidak membeli. Singkat cerita uang aku selalu habis buat membeli buku.
![]() |
Para pembeli buku: Sudahkah mereka membeli sinkron kebutuhan? |
Tsundoku tentunya nir akan menjadi kasus jika kamu punya ruang & dana yg nir terbatas. Berhubung saya adalah, menggunakan kata zaman now, sobat miskin, saya mempunyai keterbatasan sumber daya. Lalu bagaimana cara saya mengatasi perkara-kasus tadi?
Beberapa tahun yang lalu, sebelum Marie Kondo menjadi terkenal seperti sekarang, teman saya meminjami saya buku The Life Changing Magic of Tidying Up. Buku itu membuat saya memikirkan kembali tentang hubungan saya dengan barang, terutama buku. Marie Kondo, penulis buku itu, mengajukan metode KonMari untuk berbenah. Di dalam metode ini, untuk setiap barang yang kita miliki, kita harus memegangnya dan bertanya, “Apakah barang ini memercikkan sukacita atau kebahagiaan?” atau tokimekidalam bahasa Jepangnya, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai spark joy.
![]() |
Praktek metode KonMari yang dilakukan oleh penulis (asal: dokumen pribadi) |
Saya pun mencoba metode ini & ternyata saya sadar bahwa sebagian kitab -kitab yang aku punya tidak lagi memercikkan sukacita. Saya memisahkan buku-kitab tadi ke dalam dua tumpukan, simpan dan tanggal. Buku-buku yg aku tanggal saya berikan pada sahabat-sahabat aku atau saya sumbangkan ke loka-tempat misalnya kafe baca.
Menurut Marie Kondo, seiring kita menyortir barang-barang kita, kemampuan kita untuk membedakan antara barang yang memercikkan sukacita dan yang tidak akan terasah, bukan saja untuk barang-barang yang sudah kita miliki, tapi juga untuk barang-barang yang akan kita bawa ke tempat tinggal kita sehingga jumlah barang-barang yang menumpuk dan tidak terpakai berkurang. Misalnya, kini saat saya ke toko buku, saya bisa menyadari dorongan saya untuk membeli buku. Saya tidak menekan, melawan atau meredam dorongan itu, hanya mengamatinya dan seringkali dorongan itu berlalu dengan sendirinya. Dengan begitu saya menjadi tidak terlalu impulsif dan tidak mengikuti dorongan untuk membeli buku begitu saja. Keinginan atau dorongan itu tidak sama sekali hilang, saya masih membeli buku tetapi jumlahnya berkurang. Misalnya jika dahulu saya bisa keluar dari toko buku dengan tiga buku dalam satu waktu, kini saya hanya satu.
Metode KonMari pula menciptakan aku lebih gampang merelakan buku-kitab saya. Jika aku telah terselesaikan membacanya & saya tidak ingin membacanya ulang pada lain waktu, saya nir terlalu ambil pusing dan memberikannya ke orang lain. Saya tetap menyimpan buku-kitab yang saya suka atau ingin baca lagi pada lalu hari. Hal lain yg aku perhatikan setelah mempraktekkan metode KonMari merupakan aku menyadari bahwa aku memiliki kemelekatan menggunakan benda-benda & hal itu berhubungan dengan bukti diri dan konsep diri saya. Mungkin hal yang ingin saya tampilkan kepada global adalah aku menjadi orang yg pandai , intelek, berpendidikan & terpelajar & dorongan itu ada menjadi harapan buat membeli kitab .
![]() |
Pengaturan buku menggunakan metode KonMari |
Metode Konmari memungkinkan aku menyelidiki keadaan batin saya. Saya menyadari ternyata bukan hanya terhadap kitab saja saya mempunyai kemelekatan. Seringkali kita melekatkan harga diri kita terhadap benda fisik, seperti misalnya kendaraan beroda empat, tempat tinggal , sandang, telepon seluler, barang-barang glamor. Tidak ada salahnya memiliki barang-barang tersebut. Tetapi kita wajib mempunyai jarak yg sehat terhadap benda-benda itu. Jangan sampai kita dikuasai sang benda-benda tersebut.
Jadi, apakah nir ada yang salah menggunakan tsundoku? Metode KonMari membuat aku memikirkan kembali pernyataan aku sebelumnya. Tsundoku sanggup saja merupakan tanda-tanda berdasarkan suatu keadaan. Manifestasi fisik menurut suatu keadaan psikologis. Di permukaan tampak sebagai perilaku membeli kitab yang berlebihan namun hanya ditumpuk & tidak dibaca. Di bawahnya mungkin terdapat kemelekatan yg nir sehat terhadap objek-objek fisik. Kita mampu melepaskan diri menurut kemelekatan terhadap objek-objek fisik tersebut dengan menyadari dorongan-dorongan di kembali konduite kita untuk memberikan jarak yg sehat antara kita dengan objek-objek fisik tersebut.
Lepas dari kelekatan terhadap suatu barang membawa kita dalam pencerahan yg lebih tinggi pada mengelola uang. Berkesadaran pada pengelolaan keuangan memampukan kita untuk memilah mana pembelanjaan yang sesuai menggunakan kebutuhan & mana yg tidak. Dengan demikian, kita membangun kebiasaan baik & nir berperilaku secara konsumtif. Kita merdeka berdasarkan ketergantungan uang yg memungkinkan buat membeli barang-barang yg melekat dalam diri kita.