Kamis, 07 Mei 2020

[MEDIA] BELAJAR HIDUP MANDIRI DARI FILM

Oleh: Sally Anom Sari

Pada tahun 1998, Indonesia mengalami zenit krisis moneter yang pertanda-tandanya telah mulai dirasakan dari tahun 1997. Hanya pada beberapa bulan saja nilai tukar dolar naik tajam berdasarkan hanya 2000-an rupiah per dollar menjadi 17.000 rupiah per dollar. Inflasi sangat tinggi. Banyak usaha rol tikar. Nasabah bank menguras simpanan dananya secara besar -besaran. Dalam suasana penuh ketidakpastian, salah satu hal yang dilakukan masyarakat merupakan pulang ke toko-toko & pasar swalayan, lalu memborong bahan makanan sebesar mungkin. Dalam saat singkat etalase supermarket mulai kosong. Apa yg terjadi jikalau krisis terus berlanjut dan tidak terdapat lagi bahan makanan di sana?

Kejadian di tahun 1998 itu membuat aku berpikir betapa rentannya hayati kita selama ini. Sebagian warga pada Indonesia, terutama yg hidup di perkotaan, hanya bisa mengandalkan toko, pasar atau supermarket buat mendapatkan bahan makanan. Hidup kita sama sekali nir mandiri. Kehidupan modern yg kita jalani selama ini menjauhkan koneksi kita menggunakan alam. Kita tidak tahu lagi bagaimana cara menumbuhkan kuliner sendiri atau bertahan hayati pada keterbatasan.

Padahal sebenarnya saya percaya kalau manusia punya kemampuan yang tinggi buat sanggup bertahan hidup secara berdikari. Mungkin kita hanya perlu belajar lagi untuk mengasahnya. Siapa tahu kita bisa memulai dengan belajar berdasarkan film.

Cukup banyak film yang karakternya harus berada dalam situasi sulit dan penuh keterbatasan. Mereka harus mencukupi diri sendiri untuk bertahan hidup. Ada film The Blue Lagoon (1980) dan Cast Away (2000) yang karakternya terdampar dalam sebuah pulau kecil. Ada lagi film Life of Pi (2012) yang lebih ekstrim lagi karena karakternya harus hidup terkatung-katung di atas perahu bersama seekor macan.

Karakter pada ketiga film tadi awalnya hanya orang biasa. Mereka semua belajar poly hal buat memenuhi kebutuhan mereka pada situasi sulit. Mereka membentuk sendiri loka mereka berteduh menggunakan bahan yg ada pada kurang lebih mereka. Lalu mereka belajar memancing atau menombak ikan pada samudera buat mencukupi kebutuhan makan mereka.

Banyak hal yg mampu dipelajari berdasarkan ketiga film tadi, tetapi ketiganya masih memenuhi kebutuhan makan dengan merogoh sumber daya yg ada pada sekitar mereka. Alangkah menariknya kalau kita mampu menemukan film menggunakan karakter yg bukan hanya merogoh asal daya yang terdapat, tetapi juga sanggup sanggup bercocok tanam menumbuhkan makanan sendiri.

Salah satu film yang bisa kita pelajari adalah The Martian (2015), yang bercerita tentang Mark Watney (Matt Damon) seorang astronot yang terpaksa tinggal sendirian di Planet Mars. Mark terdampar di Mars akibat sebuah kecelakaan yang membuatnya diasumsikan meninggal dunia. Seluruh rekannya pergi, tidak sengaja meninggalkan Mark sendirian. Mark pun harus bertahan hidup di Mars, sebuah planet tanpa kehidupan.

Di Planet Mars, Mark tinggal di tempat yang diklaim Hab (kependekan dari Habitat), sebuah dome yg dilengkapi dengan peralatan relatif sophisticated dan penuh oksigen, cukup buat melindungi Mark berdasarkan kerasnya lingkungan pada Mars. Tetapi Mark masih wajib mencari jalan keluar buat menerima makanan & air.

Mark Watney di depan Hab, loka tinggalnya di Planet Mars, dalam film The Martian

Di hari-hari awal Mark hayati menurut persediaan kuliner yg terdapat di Hab, tetapi jumlahnya terbatas. Mark wajib mencari asal kuliner lain. Ia pun memutuskan untuk menanam dari sisa persediaan kentang yg dia miliki. Mark langsung membenahi galat satu ruangan Hab buat dijadikan huma bercocok tanam. Seluruh ruangan ia isi dengan tanah dari Planet Mars, lalu diberi pupuk berdasarkan sampah kotoran. Setelah itu Mark mulai menanam. Setelah menunggu beberapa minggu, usaha Mark memperlihatkan hasil, kentangnya mulai tumbuh dengan subur. Mark sukses menanam makanannya sendiri.

Mark Watney pada tengah ladang kentang dalam Hab di Planet Mars

Sementara buat mendapatkan air, Mark memisahkan nitrogen dan hidrogen pada hydrazine menurut bahan bakar roket. Setelah itu ia membakar hidrogen menggunakan oksigen, dan terciptalah air. Tersedianya asal kuliner & minuman ini membuat Mark berhasil bertahan hayati selama berbulan-bulan.

Upaya menanam sumber kuliner di luar bumi seperti yang dilakukan Mark Watney dalam film The Martian sebenarnya hal yang juga dilakukan pada dunia konkret. Para ilmuwan semenjak usang melakukan riset ini menggunakan asa mampu memenuhi kebutuhan pangan para astronot di luar angkasa. Pada Agustus 2015,riset ini membuahkan hasil. Untuk pertama kalinya para astronot mencicipi selada yg ditanam di stasiun ruang angkasa internasional. Riset ini terus berlanjut sampai ketika ini dengan upaya menanam flora yg lebih majemuk sebagai akibatnya misi ruang angkasa mampu lebih berkelanjutan.

Ilustrasi menanam tanaman pangan di Planet Mars. Kredit Gambar: NASA

Apa yang dilakukan di Mars dalam hal menanam tanaman pangan saat ini masih dalam tahapan riset. Hal itu mungkin akan bermanfaat di masa depan ketika kita harus bertahan hidup dalam lingkungan yang sulit. Namun ketika harus menjadi mandiri dalam situasi nyata saat ini juga, kita perlu belajar dari tempat lain. Misalnya seperti dalam film Captain Fantastic (2016).

Captain Fantastic bercerita tentang Ben Cash (Viggo Mortensen) dan enam anaknya yang hidup di tengah hutan, menjauh dari kehidupan modern. Ben Cash dan istrinya tidak tahan dengan kehidupan modern yang kapitalis, sehingga mereka membangun “surga” mereka di tengah hutan. Mereka mengagumi Noam Chomsky dan mengadaptasi pemikiran Noam Chomsky dalam kehidupan sehari-hari.

Ben Cash dan enam anaknya pada film Captain Fantastic

Untuk membentuk rumah berdikari di tengah hutan, penulis sekaligus pengarah adegan film ini, Matt Ross, berusaha melakukannya senyata mungkin. Ia bersama kru desain produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak ahli & orang-orang yg hayati secara mandiri. Mereka memikirkan baik-baik bagaimana loka tinggal, sanitasi, asal kuliner, air & cara hayati yg wajib dijalani keluarga Cash untuk bertahan hayati. Semuanya harus masuk akal.

Persediaan kuliner pada rumah keluarga Cash

Keluarga Cash berburu, tetapi juga menanam tumbuhan. Untuk mengawetkan makanan mereka melakukan pengasapan dan fermentasi. Untuk memenuhi kebutuhan air higienis, mereka mempunyai filtrasi air buat penyaringan dan bak penampungan besar buat penyimpanan. Rumah famili Cash bisa dibilang cukup terkini meskipun tidak dilengkapi teknologi komputer atau sejenisnya. Hidup mereka sepertinya baik-baik saja.

Masalah terjadi saat famili Cash wajib pergi ke kota buat menghadiri pemakaman istri menurut Ben Cash pada kota. Terjadi kontradiksi menggunakan keluarga sang istri. Ayah oleh istri menilai anak-anak Ben Cash dididik dengan tidak semestinya. Ben memang melatih anak-anaknya buat kuat seperti atlet, & cerdas misalnya filsuf. Sejak mini mereka telah biasa berkutat menggunakan pisau dan alat berbahaya lain lantaran harus bertahan hayati pada tengah hutan belantara. Ayah oleh istri percaya bahwa Ben Cash membahayakan hayati anak-anaknya.

Pada akhirnya Ben Cash sadar jikalau beberapa hal memang ada benarnya, beberapa hal terlalu bahaya buat anak-anaknya. Ben Cash lalu berkompromi dengan menciptakan tempat tinggal baru pada pinggiran kota, nir di tengah hutan, tetapi tetap hidup berdikari. Rumah itu terasa indah & penuh kehangatan.

Keluarga Cash pada tempat tinggal baru mereka.

Meskipun hanya diperlihatkan sekilas dalam film, tetapi rumah famili Cash memberi harapan bahwa hal tadi sangat mungkin untuk dilakukan. Saya jadi percaya bila ada jalan tengah antara hidup ketika ini yg sangat konsumtif, menggunakan hidup berdikari yg penuh kesederhanaan.

Kemandirian adalah kebebasan, dan setiap orang punya asa buat mencapainya. Seperti apa yang dikatakan Rellian, galat satu anak Ben Cash, mengutip tokoh idola keluarga mereka, Noam Chomsky:

?If you assume that there is no hope, you guarantee that there will be no hope. If you assume that there is an instinct for freedom, that there are opportunities to change things, then there is a possibility that you can contribute to making a better world.?

Cloud Hosting Indonesia