Minggu, 31 Mei 2020

[PIKIR] MENEMUKAN DIRI DI PUSAT KEBERADAAN

Oleh: Umbu Justin

?To be or not to be, that is the question..?

Hamlet, Act III, Scene 1, William Shakespeare

Pangeran Hamlet dari Denmark pada cerita drama Shakespeare berbicara pada dirinya sendiri, sebuah soliloqui, atas rasa tak berdaya menjalani kehidupan & mempertimbangkan apakah sebaiknya ia mengakhiri hidupnya. Ia merasa putus harapan terjebak dalam tekanan hidup akibat terbunuhnya sang ayah oleh pamannya & cita-cita buat membalas dendam. Sekali pun terujar pada sebuah frame yg sangat melankolis, kalimat tersebut menginspirasi begitu poly karya sastra global sesudahnya dan sebagai sebuah warisan literer yg tak jarang diungkap pulang justru menjadi afirmasi eksistensial buat memberi semangat dalam perjuangan memenangkan kehidupan.

Di Indonesia kita mengenal penggalan puisi Chairil Anwar: ?Sekali berarti, sudah itu mangkat ?, Sajak Diponegoro, 1943, ? Menjadi sebuah pernyataan semangat buat mengakibatkan hidup yg cuma sekelebat ini nir berlalu begitu saja. Hidup yang meski cuma secuil pada pergolakan global yg serba absurd, pantas jadi cara buat memperjuangkan makna.

Dalam soliloqui Hamlet dan sajak Diponegoro kita melihat ciri kehidupan yang paling krusial, waktu dihadapkan dalam problem bereksistensi manusia selalu berhadapan menggunakan empiris krisis hayati & meninggal, bukan sekedar bernyawa atau tidak bernyawa, namun soal makna yg pantas mengisi jalannya hidup. Begitu individu menyadari eksistensinya, ia sekaligus menangkap makna, bukan dalam konsep atau pengertian, melainkan dalam rasa, pada semua atmosfer keberadaan yg melingkupinya. Rasa berada yg intens, yang hanya mampu tertangkap sepenuhnya saat seorang menghadapi syarat ekstrim, entah sesuatu yg sangat menakjubkan atau pun menyeramkan. Di hadapan empiris yg mengancam kehidupan, seseorang merasa berada pada batas hidup & mati, entah dia akan putus asa atau melakukan tindakan ekstrim buat menyelamatkan hidupnya. Di hadapan sesuatu yg sangat menakjubkan, sesuatu yang melampaui daya tangkapnya, seseorang akan merasa kecil, hilang, & tidak berarti. Hamlet merasa putus harapan dan cenderung menentukan tidur pada kematian agar empiris berlalu tanpa tanggung jawabnya, sedangkan penyair sajak Diponegoro yang sudah melalui semua penindasan bisa melihat celah sempit bagi masa depan bangsanya yang wajib dia perjuangkan menggunakan menghimpun roh sang pahlawan.

****

Enigma eksistensi, teka-teki keberadaan adalah tugas terpenting kita: ?To be or not to be, that is the question..?. Di tengah dunia kita bertanya tentang hakekat keberadaan kita dan mempersoalkan kemampuan pembebanan yang bisa kita pikul untuk melayani hidup. Pertanyaan dasar inilah yang sejak dulu telah coba dijawab oleh mitologi, agama-agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan bahkan politik.

Agama dan mitologi terbangun berdasarkan pengalaman krisis eksistensial dan rasa tak berdaya insan pada hadapan syarat ekstrim, di hadapan yg maha seram dan maha menakjubkan. Agama memerintahkan manusia buat menyembah, mitologi mengharuskan kita untuk melayani kekuatan kosmik pada banyak sekali ritual. Politik, dalam hal ini negara atau kekuasaan, berusaha menghadirkan krisis ekstrim tadi dengan sebagai sangat menyeramkan atau rupawan dan meniru kepercayaan dan mitologi buat menundukkan manusia menjadi individu-individu yang taat demi ?Kebaikan beserta?.

Filsafat mampu sebagai jalan keluar berdasarkan tekanan kepercayaan dan mitologi dan politik yg menekan eksistensi namun filsafat nir dapat memakai doktrin apa pun buat mengajarkan pendapatnya. Filsafat sesungguhnya memang bukan pengajaran, filsafat lebih merupakan sebuah tindakan, sebuah ciri insan berkesadaran buat terus memandang ke pada eksistensinya secara rasional. Pernyataan filsafat terpenting tentang keberadaan tiba berdasarkan Filsuf Immanuel Kant (?) berdasarkan masa renaisans yang menegaskan eksistensi insan sebagai syarat terakhir dari seluruh pelaksanaan tugas insan di global. Makna manusia nir didasarkan dalam ajaran apa pun, baik dari kepercayaan maupun mitologi dan ideologi. Keberadaan insan itu sendiri sudah cukup buat sebagai alasan bertindak benar dalam hayati.

****

Belajar menurut Dua Pangeran

Soliloqui Hamlet merupakan krisis eksistensial, apa adalah terus bernyawa, ad interim hidup menjadi beban tak tertahankan, sedangkan roh Diponegoro yang dipanggil penyair merupakan barah semangat buat mengatasi krisis kehidupan yang direndahkan kekuasaan kolonial. Chairil Anwar dalam sajak Diponegoro berbicara mengenai pencerahan bereksistensi: ?Sekali berarti, sudah itu mati?. Makna, keberartian merupakan soal terpenting menurut persolalan eksistensi. Makna bukan pada frame mitologis yang menjanjikan kekekalan heroik menggunakan senang pada kahyangan, atau agama-agama doktrinal yg memperlihatkan upah surga bagi yang berbuat baik. Makna pada gagasan eksistensial penyair ini merupakan makna otentik ala Kant, yang tidak meminta surat keterangan supranatural, ?? Sudah itu tewas? Terselesaikan tanpa embel-embel janji apa pun.

Humanisme Kant yang tidak menggantungkan eksistensi manusia pada kebenaran pada luar kebenaran faktual, adanya kemanusiaan tidak bisa kita lihat menjadi doktrin atau ideologi dogmatik yang biasa kita lihat pada asas paham-paham agama atau politik. Kebenaran Eksistensi insan adalah daya, tenaga, tenaga yg menggerakkan seluruh kebenaran. Kita hanya bisa menerimanya dalam tataran bergerak maju, melalui kegelisahan yg sungguh kita rasakan. Kebenaran ini bukanlah dogmatis atau ideologis, dia merupakan kita yg hayati dan gelisah mencari makna kehidupan.

Eksistensi nir dapat dibuktikan sang sains atau ideologi. Ia bukanlah slogan yang sanggup ditinjau di pamflet-pamflet politik atau ulasan filsafat. Eksistensi dalah kebenaran yg dirasakan masing-masing individu, dia adalah hayati itu sendiri. Eksistensi merupakan ruang otentik dimana kita menyadari bahwa kita hidup, menyatakan dalam diri kita, ?Kita terdapat?.

Pada kebenaran ini kita menemukan diri, bahwa kita berada dan mencicipi seluruh indera kita terbuka mencerap dunia yang meliputi kita, dunia yg dekat dalam detak jantung kita, ruang-ruang mini di rumah kita, pada lorong-lorong kota di antara seliweran kehidupan, insan sesama yang memerlukan kehadiran kita di dalam global maha luas yang tak mampu lagi diukur menggunakan daya tempuh cahaya? Kita tetap di pusat seluruh kebenaran, kita yg berada pada antara krisis Hamlet & teguh berjuangnya sang Diponegoro. Kitalah oleh penyair, eksislah!!

Cloud Hosting Indonesia