Oleh : Any Sulistyowati
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Pemenuhan kebutuhan ini turut mewarnai sejarah perjuangan umat manusia dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan, baik cara damai maupun perang, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang super kompleks seperti yang kita alami saat ini. Untuk mendapatkan pangan, manusia mengambil sumber-sumber pangan dari alam. Pada awalnya manusia hanya mengambil pangan dari sumber-sumber yang dekat dengan tempat tinggalnya dan dalam jumlah kecil sesuai dengan kebutuhan manusia di wilayah tersebut pada saat itu. Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi telah meningkatkan kebutuhan pangan dalam skala global. Untuk mengatasinya, manusia telah mengembangkan berbagai teknologi pangan yang mampu meningkatkan produksi pangan dunia secara signifikan.
Kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia saat ini memproduksi pangan dalam jumlah besar dalam waktu yang lebih singkat. Sistem pangan tersebut juga memungkinkan manusia untuk mengonsumsi apa saja, di mana saja dan kapan saja. Dengan bantuan teknologi, manusia mampu mengambil sumber sumber pangan di alam secara masif, bahkan dari tempat-tempat yang jauh dari lokasi produksi dan konsumsi pangan tersebut.
Masalahnya, pengambilan sumberdaya tersebut seringkali sampai melampaui batas-batas daya dukungnya. Di berbagai tempat di dunia, terjadilah kerusakan alam yang parah. Jika kecenderungan ini berlanjut, maka ketersediaan sumber-sumber pangan di alam akan menurun. Pemenuhan kebutuhan pangan manusia pun akan terganggu dalam jangka panjang.
Selain kerusakan alam, kemajuan di atas jua membawa konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan transportasi buat memindahkan pangan dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain. Hal ini berimplikasi dalam penggunaan bahan bakar & emisi karbon yang didapatkan berdasarkan proses pengangkutan tersebut. Kenaikan emisi karbon mengakibatkan efek rumah kaca yg meningkatkan suhu bumi. Inilah yang dikenal sebagai pemanasan global. Pemanasan global akan mengakibatkan perubahan iklim yang mensugesti daur animo secara global. Bencana alam misalnya banjir dan kekeringan semakin kerap terjadi. Peningkatan frekuensi bencana akan menaikkan kemungkinan gagal panen pada lokasi-lokasi bala tadi.
Perkembangan teknologi juga memungkinkan insan melakukan penanaman pangan di luar musimnya atau di loka yang bukan habitatnya. Masalahnya, tenaga yg diharapkan buat membuat pangan di luar isu terkini atau di tempat yg bukan habitatnya sangat besar . Meskipun menurut sisi ekonomi mungkin masih lebih murah daripada mendatangkan pangan tersebut berdasarkan habitatnya atau menyimpan dari panen trend kemudian, pola produksi ini lebih boros dari sisi sumberdaya. Semakin poly sumberdaya & tenaga yang dipakai, maka laju pemanasan global akan semakin cepat. Iklim sebagai kian nir menentu. Banyak petani yg gagal panen dampak perubahan trend & cuaca ekstrem. Produksi pangan pun terancam menurun.
![]() |
Pohon tumbang akibat hujan deras disertai angin kencang makin kerap terjadi. Kejadian serupa juga menyebabkan tanah longsor, banjir dan gagal panen. Di saat yang lain terjadi kekeringan panjang yang juga menyebabkan gagal panen. Sumber foto: dokumentasi KAIL |
Sisi lain menurut pemindahan pangan dari satu loka ke tempat lain adalah kebutuhan akan bungkus. Kemasan digunakan buat memastikan kualitas pangan permanen terjaga pada ketika dikonsumsi. Kemasan juga dirancang buat menarik konsumen. Masalahnya sering kemasan-bungkus tadi mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan. Pada kebanyakan kasus, kemasan tadi akan dibuang & menjadi limbah sehabis kuliner dikonsumsi. Apabila nir dikelola menggunakan baik, limbah-limbah ini pada akhirnya akan menyebabkan pencemaran lingkungan.
![]() |
Tumpukan sampah di TPA menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara. Sumber gambar: http://www.sanitasi.net/pemrosesan-akhir-sampah.html |
Di samping kemasan, limbah pangan juga bersumber dari dua hal berikut. Pertama adalah bagian pangan yang memang tidak atau belum dapat dikonsumsi. Limbah jenis ini terjadi antara lain karena bagian tersebut mengandung zat beracun dan belum ditemukan cara pengolahannya menjadi bahan yang siap dikonsumsi. Jenis limbah kedua adalah bagian pangan yang semula sebetulnya dapat dikonsumsi, tetapi karena terlambat dikonsumsi maka kemudian menjadi limbah. Jenis limbah ini terjadi antara lain karena (1) hasil panen berlebih dan tidak diolah sehingga rusak sebelum sempat dikonsumsi, (2) hasil panen rusak dalam proses pengangkutan, atau (3) pengambilan pangan berlebihan sehingga tidak dapat dikonsumsi seluruhnya pada waktunya.
Limbah pangan akibat pengambilan berlebih lalu nir dihabiskan.
Sumber gambar: http://www.eoi.es/blogs/imsd/global-inequality-of-the-food-system/
Meskipun secara global produksi pangan telah meningkat, peningkatan ini belum dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara merata. Sementara sebagian orang mengalami kelebihan konsumsi pangan, sebagian lainnya justru kekurangan pangan. Apabila ditinjau dari sisi kesehatan, kedua kondisi ini sama-sama tidak baiknya. Mereka yang kelebihan konsumsi pangan potensial menghadapi berbagai persoalan penyakit degeneratif yang membahayakan jiwa. Sementara mereka yang kekurangan makanan dapat menderita kekurangan gizi. Kekurangan gizi akan mengurangi ketahanan manusia dalam menghadapi penyakit. Baik penyakit degeneratif maupun penyakit akibat kurang gizi, keduanya akan mengurangi kualitas hidup manusia.
![]() |
Di tengah surplus produksi pangan dunia, 805 juta orang berada dalam kondisi kelaparan. Sumber gambar: http://www.Eoi.Es/blogs/imsd/dunia-inequality-of-the-food-system/ |
Apabila digali lebih jauh, persoalan pangan di atas tidak lepas dari sistem-sistem yang berjalan saat ini, misalnya sistem politik pangan nasional dan global. Sistem tersebut telah menyebabkan pola konsumsi pangan menjadi hampir seragam di seluruh dunia. Konsumsi pangan terutama hanya berfokus pada komoditas-komoditas tertentu yang dianggap dapat menjadi andalan, seperti beras, gandum, kedelai dan minyak kelapa sawit. Pemilihan komoditas-komoditas unggulan ini menyebabkan sistem produksi pangan dikelola sebagai perkebunan-perkebunan intensif monokultur yang didukung dengan mekanisasi dan penggunaan bahan kimia dan pestisida untuk menjamin keberhasilan produksinya. Pola produksi tersebut membawa beberapa konsekuensi sebagai berikut.
Konsekuensi pertama merupakan berkurangnya keanekaragaman pangan di bumi dan mengerucut pada komoditas-komoditas bahan pangan unggulan tersebut. Penanaman dengan cara monokultur akan mengganggu keseimbangan unsur makro dan mikro pada dalam tanah. Jika komposisi unsur makro dan mikro pada tanah tidak seimbang, maka kesuburan tanah akan berkurang, sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Untuk waktu ini, hal ini diatasi menggunakan penggunaan pupuk kimia. Masalahnya, penggunaan pupuk kimia hanya menaruh tambahan unsur makro atau mikro di dalam tanah namun nir membentuk sistem kehidupan pada dalam tanah. Tanpa asupan materi organis, rantai kehidupan di pada tanah akan tewas, meskipun tanah berisi banyak unsur makro dan mikro kimiawi. Dalam jangka pendek, sistem produksi ini memang menaruh peningkatan produksi yg signifikan, tetapi pada jangka panjang, kesuburan tanah akan makin berkurang dan mengurangi produksi pangan pada jangka panjang.
Konsekuensi kedua dari praktek produksi pangan di atas adalah terganggunya keseimbangan pada rantai makanan di alam. Salah satu contoh yang sering dihadapi adalah ledakan hama yang menyerang komoditas-komoditas unggulan. Penggunaan pestisida akan mematikan hama penyerang tanaman secara masif, termasuk para predator hama tersebut. Selain itu predator hama tersebut juga akan mati karena mengalami kekurangan pangan atau terganggu habitatnya. Populasi predator hama akan berkurang. Sebagian kecil hama yang selamat dari pestisida akan berkembang biak dan membangun kekebalan terhadap pestisida. Dengan berkurangnya jumlah predator, populasi hama tersebut akan meningkat dan akhirnya menyerang tanaman-tanaman pangan yang ada. Manusia kemudian menanggapinya dengan mengembangkan pestisida-pestisida dengan kadar racun yang lebih tinggi untuk menghadapi hama-hama yang kebal tadi. Bila hal ini terus berlanjut, maka lahan-lahan produksi pangan semakin lama akan semakin tergantung pada racun pestisida.
Penggunaan pestisida jua akan mengakibatkan akumulasi racun di alam. Racun-racun yang semula ditujukan untuk hama penyerang tanaman , akhirnya ikut menempel pada bahan kuliner yang dipanen & dikonsumsi. Manusia ikut mengonsumsi racun yg disebarkannya di alam. Apabila manusia mengonsumsi kuliner beracun, maka racun tadi akan terakumulasi di dalam tubuh & mengakibatkan banyak sekali penyakit.
Implikasi lain dari berfokus pada komoditas-komoditas unggulan adalah konsentrasi produksi pangan di tempat tempat yang strategis secara ekonomi. Sebagai contoh. Karena buruh sangat murah di negara-negara miskin, maka demi mendapatkan devisa, negara-negara tersebut telah mengalihfungsikan lahan, yang semula digunakan untuk memproduksi bahan pangan lokal untuk konsumsi rakyatnya, menjadi tempat produksi komoditas bernilai ekonomi tinggi untuk melayani pasar global. Kedaulatan pangan negara-negara tersebut menjadi terusik karena kemudian mereka menjadi bergantung pada pangan impor yang dianggap lebih murah pada saat itu.
Beralih komoditas pula membawa implikasi secara ekologis dan sosial. Secara ekologis, akan terjadi perubahan kondisi alam pada bentuk kepunahan komoditas-komoditas pangan lokal yg nir ditanam lagi, berikut seluruh ekosistem pendukungnya. Berfokus dalam komoditas unggulan secara tidak langsung akan mengurangi produksi dan konsumsi komoditas lain yg dianggap tidak unggul. Padahal apabila tidak digunakan, terdapat kemungkinan komoditas tadi malah akan menghilang dan bahkan punah. Masalahnya, kepunahan satu bahan pangan tadi mampu jadi akan menghilangkan seluruh budaya yang terkait dengannya, mulai berdasarkan cara menanam, merawat, memanen dan mengolahnya menjadi aneka macam produk pangan. Padahal, buat membangun keterampilan dan pengetahuan tersebut diperlukan ketika dari generasi ke generasi, ad interim buat menghilangkannya cukup menggunakan menghapus prakteknya pada satu atau 2 generasi. Sebagai model, apabila hutan sagu hilang & sagu nir diproduksi lagi, maka seluruh pengetahuan terkait pengolahan sagu akan hilang. Hal ini tentu akan mengurangi ketahanan pangan wilayah tersebut. Secara sosial, kemandirian pangan mereka akan berkurang dan menjadi tergantung pada pangan impor.
Konsentrasi pengembangan pangan pada komoditas-komoditas unggulan juga sudah memungkinkan sentralisasi produksi pangan pada segelintir aktor, umumnya pada bentuk perusahaan-perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini mendominasi produksi komoditas unggulan nasional & bahkan global. Dominasi ini memungkinkan mereka mengontrol dunia demi keuntungan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan lewat prosedur harga atau pengendalian stok pangan dunia. Dengan kontrol tadi mereka mendistribusikan pangan terutama pada mereka yg mampu membeli dan menaruh keuntungan financial terbesar bagi mereka. Semakin banyak uang yang kita memiliki, semakin akbar akses kita terhadap pangan. Uang yg semakin poly berarti semakin banyak jumlah & ragam kuliner yg bisa dipilih. Uang yang poly berarti lebih bebas menentukan apa kuliner yang hendak dikonsumsi, berapa poly, kapan dikonsumsinya dan di mana. Di pada sistem semacam ini maka pangan akan mengalir pada mereka yang bisa membeli. Jika sistem pangan lebih menguntungkan mereka yang mempunyai uang, maka sumberdaya untuk membuat pangan secara dunia nir dapat terdistribusi merata buat seluruh umat insan. Sumberdaya yg terbatas akan lebih sulit direorganisasi secara optimal buat pemenuhan pangan seluruh umat manusia secara merata. Hal ini dapat berarti pemborosan sumberdaya hanya buat pemenuhan hasrat eksklusif segelintir orang dan mengorbankan pemenuhan kebutuhan dasar secara umum dikuasai umat manusia. Di pada kondisi kelimpahan sumberdaya, hal pada atas mungkin nir terlalu perkara, namun pada tengah krisis ekologis yang makin parah dalam skala global, hal ini potensial sebagai dilema besar pada jangka panjang.
Jika kecenderungan-kecenderungan di atas berlanjut, maka keberlanjutan penyediaan pangan dunia akan terancam. Mencari pola produksi dan konsumsi pangan yang lebih berkelanjutan adalah pekerjaan rumah kita bersama sebagai warga dunia. Melihat situasi di atas, apakah kita akan terus mengamini sistem pangan yang penuh persoalan di atas? Apakah kita justru ikut arus dengan terlena ikut pola konsumsi pangan yang merusak alam? Apakah kita tetap memilih mengonsumsi pangan yang dari sisi produksi menimbulkan masalah? Akankah kita terus mempercayakan seluruh pangan kita pada segelintir aktor yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan semata?
Semoga dengan semakin poly orang peduli pada problem pangan, akan muncul solusi-solusi kreatif buat solusinya.
***