
Pada suatu Jumat siang yang agak mendung di Kota Bandung, aku menaiki angkutan umum dari Jalan Supratman ke arah Jalan Ahmad Yani. Di Jalan Ahmad Yani, aku kemudian berganti angkutan yang menuju ke wilayah Cicadas. Saya turun pada depan sebuah jalan kecil, Jalan Asep Berlian. Saya masuk ke jalan tadi, dan sinkron petunjuk pesan pada telepon seluler aku , saya menuju ke satu alamat: Gang Proklamasi Nomor tiga.
Alamat tujuan membawa aku ke sebuah bangunan sederhana serba hijau. Hanya ada satu ruangan seluas sekitar lima x 6 meter menggunakan teras mini , mirip kantor RW atau posyandu. Saya longok ke dalam, ada 2 orang ibu yang sedang berdiskusi. Segera aku mengucapkan salam, lalu masuk. Saya kemudian berkenalan menggunakan keduanya: Bu Ani dan Bu Nani.
Bu Ani & Bu Nani ternyata sedang menjahit pola-pola batik berbentuk hexagonal sebagai sebuah rangkaian. Untuk apa? Ternyata buat dijadikan corak sampul kain pembungkus buku notes. Semuanya berdasarkan kain perca. Wah, kok mampu sekreatif itu ya mak -ibu ini? Dari mana muncul ilham memanfaatkan perca kain buat membuat sampul kitab ?
Foto: dokumentasi Penulis |
Tak lama kemudian tiba 2 orang mak lagi. Yang seseorang bernama mak Iyam, yang satunya dipanggil Ibu Mamah. Ibu Mamah ini tinggal di Cicalengka, menempuh bepergian lebih menurut satu jam untuk sampai pada tempat ini. Setelah kedatangan kedua ibu ini, mereka membandingkan output kerja masing-masing, mendiskusikannya sembari tangan mereka terus menjahit. Mereka masih menunggu kedatangan teman mereka dan seorang yg mereka tunggu-tunggu.
Tak lama kemudian, datanglah seseorang yg mereka tunggu-tunggu. Seorang anak muda bernama Fajar Ciptandi. Rupanya Fajarlah yang mengarahkan dan membimbing grup mak -ibu ini untuk berkreasi menggunakan perca-perca kain. Lewat Fajar juga terkadang mak -mak ini menerima pesanan pembuatan kerajinan tangan menurut perca-perca kain, seperti waktu ini, sampul buku bercorak heksagonal pesanan mahasiswa ITB. Jika sedang nir ada pesanan, para ibu ini membuat asesoris, demikian Fajar menyebutkan lalu.
![]() |
Foto: dokumentasi Penulis |
Kehadiran Fajar membuat ibu-ibu segera memberondongnya dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan masing-masing, misalnya: “Fajar, ini teh kok ukurannya beda ya,” “Jar, aku teh belum selesai jahit ini..”. Fajar menanggapi dengan senyum dan sabar satu persatu pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, sambil kadang berkelakar. Fajar tampak paham betul bagaimana gaya dan pola kerja ibu-ibu ini. Meskipun waktu pengerjaan pesanan tinggal satu minggu, dan pekerjaan yang harus diselesaikan masih banyak, Fajar percaya bahwa ibu-ibu ini dapat menyelesaikan semuanya tepat waktu. Satu per satu kesulitan ibu-ibu ini ia carikan solusinya.
Tiba-tiba seseorang mengucap salam, “Assalamualaikuuum..!” Seorang ibu berkerudung putih datang. Fajar langsung memperkenalkan saya pada Ibu Ida. Sosok ibu yang satu ini lincah dan bersemangat. Bu Ida yang bersemangat langsung menghidupkan suasana dengan cerita-ceritanya. Lengkaplah sudah kelompok ibu-ibu yang berkumpul hari ini. Lima orang semuanya.
Di bawah bimbingan Fajar, sudah hampir dua tahun, kelima ibu ini – kadang berenam-- berkumpul rutin seminggu sekali untuk belajar berkreasi dengan perca kain. Ibu Ani, yang ditunjuk sebagai ketua kelompok, sehari-harinya adalah kepala PAUD Anggrek, tempat yang sekarang digunakan ibu-ibu ini berkegiatan. Pagi mengurus PAUD, siang menjadi ibu rumah tangga. Sedang Ibu Nani, adalah sepenuhnya ibu rumah tangga. Anak-anak Bu Nani sudah cukup besar, sudah ada yang menuntut ilmu di bangku kuliah dan satu lagi sudah di SMK. Bu Iyam lain lagi. Usianya lebih tua dari yang lain. Sehari-hari, kegiatan Bu Iyam mengurus cucu – mengantar dan menjemputnya di sekolah. Sedangkan Bu Mamah, menurut teman-temannya, aktif berbisnis. Ibu Ida, sekarang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Anaknya yang pertama baru masuk kuliah, dan yang kedua duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Menurut Bu Ida, semasa mudanya, ia bekerja di bagian administrasi sebuah pabrik, jadi dia paham tentang pencatatan keuangan. Karena itulah di kelompok inipun, Ibu Ida ditunjuk sebagai pengurus keuangan, kas tabungan ibu-ibu.
Lalu, siapakah Fajar Ciptandi? Pemuda kelahiran 6 Desember 1986 ini adalah seorang mahasiswa Magister Desain ITB yang juga seorang dosen Program Studi Kriya Tekstil dan Mode di Universitas Telkom Bandung. Fajar merupakan salah satu Young Changemaker Ashoka tahun 2012. Berkarya dengan kain sudah bertahun-tahun ia tekuni, karena ia juga memiliki sebuah usaha asesoris kain dan batik bernama Dwaya Manikam. Tahun 2013, Dwaya Manikam mengadakan Dwaya Manikam Start Empathy yang merupakan sebuah program sosial untuk pemberdayaan komunitas melalui pelatihan peningkatan kapasitas untuk mengubah bahan mentah menjadi produk yang bernilai lebih tinggi (lihat dwayamanikam.blogspot.com). Komunitas yang didampingi oleh Tim Dwaya Manikam adalah ibu-ibu yang ada di daerah Dayeuh Kolot dan Cicadas.
Kelompok Ibu Ani & mitra-kawan merupakan galat satu grup ibu yang didampingi Tim Dwaya Manikam yang bertahan sampai saat ini. Menurut Fajar, pada daerah Cicadas sebetulnya terdapat beberapa gerombolan bunda yang beliau dampingi, loka kegiatannya bhineka. Dalam seminggu, Fajar mengatur jadwal buat mengunjungi gerombolan bunda yang berbeda. Kalau begitu, mengapa tidak disatukan saja?
“Setiap kelompok ibu sudah cocok dengan anggota kelompoknya, sudah kayak se-gank gitu, “ imbuh Fajar, “Jadi daripada disatukan malah nggak cocok, ya mendingan saya saja yang ke sana kemari.” Pernyataan ini diamini Ibu Ani dkk. “Pokoknya kita mah udah cocok banget deh, nggak pernah berantem!” kata Ibu Ida dan Ibu Mamah saling menimpali. Ya, mereka memang sudah akrab sekali. Sambil bekerja mereka saling bercerita, kadang curhat pada Fajar tentang kehidupan sehari-hari mereka.
Di Gang Proklamasi, juga ada ibu-ibu lain. Awalnya banyak ibu mengikuti kegiatan berkreasi dengan perca kain ini. Namun seiring berjalannya waktu, hanya segelintir ibu itu saja yang bertahan untuk terus menekuni kegiatan ini. Menurut Ibu Ani dkk, mereka sudah berusaha mengajak ibu-ibu yang lain untuk kembali terlibat, tapi mereka tidak datang lagi. Menurut Ibu Ani dkk., mungkin ibu-ibu yang lain belum melihat manfaat dari kegiatan ini. Bagi Bu Ani dkk., kegiatan ini berguna, untuk menambah pemasukan, bisa saling berbagi serta mengisi waktu luang mereka sebagai ibu rumah tangga.
Foto: dokumentasi Penulis |
Cita-cita Ibu Ani dkk. Ke depan adalah mempunyai sebuah unit bisnis yang sanggup berjalan rutin, contohnya membuka warung atau berjualan pulsa. Tetapi, mereka masih berjuang mengumpulkan modal sedikit-sedikit menurut hasil menciptakan ciptaan perca kain. Ibu Ani dkk. Konfiden, suatu ketika nanti, mereka sanggup memperoleh penghasilan mandiri menurut kreasi kain perca yg mereka untuk ketika ini.