Minggu, 21 Juni 2020

[MASALAH KITA] Konflik Peran Ganda Ibu Aktivis

Oleh: Anastasia Levianti
Ibu aktivis menjalankan setidaknya dua peran, yakni kiprah domestik sebagai bunda menurut anak-anaknya ataupun istri, dan kiprah sosial sebagai agen perubahan di rakyat. Di samping idealisme yg intensif, ke 2 kiprah ini menuntut hadiah ketika, pikiran, perhatian, dan tindakan berdasarkan ibu. Ada kalanya, ke 2 peran menuntut hadiah yg sama banyaknya pada ketika bersamaan, sehingga ibu mengalami perseteruan.
Saat menghadapi situasi perseteruan, mak dihadapkan pada setidaknya 3 pilihan, yakni : (1) mendahulukan peran domestiknya, (dua) mengutamakan peran sosialnya, atau (3) mencari cara buat memadukan keduanya. Yang paling acapkali terjadi adalah mak mengedepankan keliru satu kiprah & mengebelakangkan peran yang lain. Sebagai akibatnya, bunda merasa bersalah lantaran keliru satu kiprah tidak ia jalankan secara optimal.


Ibu lalu melakukan penilaian & merencanakan langkah perbaikan, mulai dari penetapan skala prioritas, manajemen waktu, strategi mengelola stamina & emosi, serta hal lain-lainnya. Rencana pemugaran tidak pribadi berhasil dijalankan. Rangkaian pertarungan, langkah solusi, evaluasi, dan rencana perbaikan pun menjadi siklus berulang yg dialami ibu. Perubahan terjadi sedikit-sedikit, lambat, kurang signifikan, dan melelahkan. Oleh karena itulah Rubrik ?Masalah Kita? Mengangkat topik ini, untuk menguraikan pertarungan berdasarkan pertarungan peran ganda ibu aktivis, dan memperoleh gambaran tentang cara lain solusinya.
Berikut jawaban 7 responden buat pertarungan peran ganda yg dialami.


# Marah kepada anak lantaran mak stress oleh kegiatan padat pada waktu sempit
# Merasa bersalah kepada anak lantaran ibu mendahulukan pekerjaan
# Merasa ragu apakah aktivitas sosial tetap perlu dipertahankan
# Tak ada kasus, konfiden anak didukung lingkungan eksternal ketika bunda beraktivitas di luar
Dari hasil rekap di atas, tampak bahwa salah satu keluhan utama mak merupakan perasaan terhimpit oleh banyaknya tugas yang perlu beliau selesaikan pada saat terbatas. Perasaan terhimpit lahir dampak desakan impian buat mewujudkan hasil sempurna di kedua bidang secara cepat dan sempurna. Keterhimpitan ibu umumnya disalurkan dalam bentuk perilaku murka pada suami yang dianggap kurang kooperatif, juga anak-anak yang cita rasanya sulit diatur dan menuntut perhatian lebih. Perilaku murka terjadi semakin sering, semakin intens, dan semakin sulit dikendailkan, meski perasaan menyesal selalu tiba selesainya amarah reda. Mengapa demikian?
Ibu mengalami frustrasi berulang-ulang. Pikiran ibu tentang “apa yang seharusnya” berkebalikan dengan kenyataan di depan mata. Tanpa sadar, ibu terjebak pada idealismenya sendiri.  Ditambah dengan cermin sosial yang terbentuk selama ini bahwa seorang ibu haruslah sempurna, senantiasa sabar, telaten merawat dan mengasihi keluarganya. Dari sinilah pangkal mula seorang ibu mengharuskan dirinya memenuhi kondisi tertentu, dengan dalih, “Berperilaku marah-marah itu tidak baik. Segala perilaku kurang optimal harus diperangi, tidak boleh dibiarkan begitu saja” Ibu menolak untuk menerima diri dan lingkungannya secara apa adanya, karena segala hal yang tidak sesuai idealismenya dianggap buruk dan merasa wajar untuk diperbaiki. Dalam hal ini, ibu telah mencintai diri sendiri secara berpamrih. Artinya, ia hanya mampu merasa bahagia ketika idealismenya tercapai.
Pamrih atau cinta bersyarat ibu terapkan secara otomatis juga pada lingkungan di luar dirinya. Anak, suami, rekan, atau lingkungan harus memenuhi idealismenya, barulah mereka semua itu dapat ibu balas sikapi dengan baik. Padahal kenyataannya, setiap orang itu  beranekaragam, dengan cara mereka masing-masing untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan memenuhi keinginan mereka sendiri, baik dengan cara yang kasar maupun dengan cara yang halus. Kenyataan ini sungguh buruk bagi ibu, karena bertentangan dengan konsep idealnya mengenai manusia sebagai makhluk berbudi tulus. Ibu tidak mau melihat mereka secara transparan. Ibu belum bisa mencintai mereka secara apa adanya. Ibu mudah dikecewakan.
Akar masalah yang perlu mak aktivis pahami artinya ketidakmauan mengasihi diri sendiri secara apa adanya, yg berkembang menjadi ketidakmauan mencintai realita dan lingkungan yang lebih luas secara apa adanya jua. Seperti perempuan yg menutupi perasaan jeleknya menggunakan berdandan, apapun upaya yg dilakukan, sekedar menimbulkan ria sesaat, & tidak berdaya melahirkan perasaan cantik menurut dalam dan cinta.
Alternatif solusi yang perlu ibu aktivis pertimbangkan adalah berhenti memoles diri dan orang lain, ataupun kenyataan di depan mata. Berhenti mencocokkan keadaan diri sesuai cermin sosial. Setiap yang ada pada suatu saat sudah hadir dengan kesejatiannya yang penuh, tanpa perlu perbaikan ataupun sekedar pelengkap kemasan. Getaran cinta tanpa syarat akan melahirkan tindakan memelihara, bukan memerangi, seperti wanita yang menyayangi fisiknya dan merawat kondisinya. Karena tanpa pamrih, ibu akan terbuka menerima keadaan chaos dan spontanitas pihak lain, tidak lagi memaksakan perwujudan idealisme pribadi. Tindakannya bersifat merespon kebutuhan bersama dari hatinya, bukannya membalas atau re-aksi. Sebaliknya, aksi yang ibu lakukan akan menggugah hati pihak lain untuk memberikan respon sesuai kebutuhan bersama, bukannya memancing balasan atau re-aksi mereka.
Bagaimana menahan dorongan buat memoles diri, mengingat dorongan tadi tiba secara kuat dan cepat, nyaris seperti refleks saja sifatnya? Cara primer adalah, menyadari momen 1-dua detik waktu dorongan itu ada, menerimanya hadir di dalam diri, lalu melepaskannya, dorongan itu secara alamiah akan reda.
Di samping keluhan perasaan terhimpit & respon amarah, terdapat juga keluhan mengenai kelelahan & ketidakberdayaan, serta keraguan buat permanen menekuni ke 2 kiprah atau ketakutan buat melepas keliru satunya. Saat ibu merasa lelah dan tidak berdaya, secara amanah tubuh ibu mengungkap kebutuhannya akan istirahat. Tetapi amanah jua diakui bahwa pikiran ibu tak sanggup menghentikan seluruh aktivitas rutin dari kedua kiprah yang sudah dia jalani selama ini. Ibu misalnya robot pekerja yg mulai aus dimakan usia. Orientasi utamanya merupakan produktivitas. Tindakan mak berlandaskan prediksi logis dan mengabaikan dorongan perasaan. Tanpa sadar, bunda menyikapi kehidupannya menjadi proses usaha yang perlu dia kelola, bukan sebagai misteri yang perlu beliau hidupi.
Di tengah-tengah itu, ada kalanya, ibu merasa bimbang. Ibu ragu apakah ke 2 peran perlu beliau pertahankan, ataukah lebih sempurna penekanan menekuni keliru satu kiprah & peran lain sekedar menjadi pengisi ketika luang. Berbagai pro kontra ada pada kembali setiap peran, seakan saling ingin mengalahkan satu sama lain dan hanya akan terdapat satu kiprah yg muncul sebagai pemenang. Ragam pertimbangan semakin berseliweran, & semakin sulit dipilah, mana yg kebutuhan sejati & mana yang perangkap pembenaran. Berbagai ketakutan merintangi itikadnya melepas anak dalam penyelenggaraan lingkungan sekitar. Ibu juga risi kelompok warga binaannya akan telantar apabila ia menghentikan peran sosialnya. Sementara tetap menjalankan keduanya tanpa prioritas kentara membebani bunda.
Akar masalah dari keluhan-keluhan ibu ini adalah rasa takut atau kurang percaya terhadap situasi ketidakpastian. Sebagai aktivis, keberanian ibu sebatas menghadapi situasi pasti, yakni memperjuangkan idealisme yang ia yakini benar dan memerangi perihal yang sudah jelas dianggap negatif oleh lingkungan. Situasi terus mempertahankan produktivitas meski dibebani kelelahan juga merupakan situasi pasti, yang enggan diubah karena khawatir menimbulkan chaos.
Alternatif solusi yang perlu ibu pertimbangkan adalah mengembangkan courage, more than brave. Ibu perlu berani mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya. Bagaimana mendeteksi suara hati yang perlu diikuti? Suara hati memiliki kuasa, yang mendorong manusia secara alamiah untuk bertindak, meski menghadapi macam-macam rintangan. Dan begitu keputusan ditetapkan, semua kemudahan bergulir memenuhi kebutuhan semua pihak.
Berikut sikap yg diambil responden atas pertarungan kiprah ganda yang dialaminya.


# Membuat rencana lebih baik, melakukan evaluasi terpola, & mendapat apapun hasilnya
# Memilih alternatif yang dapat membuat bunda bahagia, & menularkan kebahagiaannya
# Percaya dalam lingkungan, ketika menyerahkan anak ke dalam proteksi ?Rahim dunia?
Ketidaksempurnaan ini, sungguh, sudah paripurna. Selamat Menikmati Harimu, Ibu!



Sumber gambar: http://www.noormafitrianamzain.com/2012/03/prestasi-dan-prestise.html































Cloud Hosting Indonesia