Oleh: Any Sulistyowati
Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi telah memberikan tekanan yang luar biasa pada alam. Krisis ekologis terjadi di mana-mana, tercermin dalam berbagai bentuk kelangkaan sumberdaya dan bencana alam. Banyak inisiatif telah dilakukan berbagai pihak untuk menanggapi hal tersebut. Salah satunya dengan membangun komunitas yang secara sadar memilih pola hidup yang berbeda, yang lebih selaras alam. Komunitas-komunitas ini tersebar di segala penjuru dunia, dengan berbagai kondisi alam, sosial dan budaya yang berbeda. Di dalam keberagaman itu, ada satu persamaan yaitu mereka memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuk mereka sendiri, untuk generasi mendatang dan untuk alam yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Saya pernah berkunjung ke beberapa komunitas semacam itu. Dari kunjungan itu aku mengagumi keragaman wangsit & solusi kreatif yg diciptakan buat pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih selaras alam. Keragaman itu tampak dalam desain bangunan, teknologi & cara hidup yang dipilih oleh komunitas-komunitas tadi. Berikut ini merupakan cerita singkat mengenai kunjungan saya ke Cobb Hill Community Cohousing (www.Cobbhill.Org), sebuah komunitas yg berlokasi di Vermont, Amerika Serikat.
Saya mendapatkan kemewahan untuk melewatkan waktu bersama komunitas ini. Empat kali kunjungan di musim yang berbeda. Masing-masing sekitar seminggu lamanya. Kunjungan itu diawali di musim gugur pada bulan September tahun 2008. Selama tinggal di komunitas itu saya menginap di sebuah rumah milik pasangan Judith dan Phil Bush. Rumah itu bersebelahan dengan rumah lain. Rumah duplex namanya. Mereka berbagi halaman, berbagi dinding tetapi masing-masing rumah memiliki privasi sendiri.
Di Cobb Hill, saya diberi kamar sendiri. Kamar ini tempat saya kembali di setiap musim. Seperti anak kos pulang kampung. Pulang ke rumah, ke kamar sendiri. Meskipun kecil, kamar itu sangat nyaman. Dindingnya berwarna putih dan lantainya dari kayu warna coklat muda. Ada tempat tidur di salah satu dindingnya. Ada meja untuk kerja di dinding seberangnya. Ada jendela untuk melihat pemandangan di luar dan untuk udara keluar masuk.
|
|
Ketika saya berkunjung ke komunitas ini, saya nir menemukan pagar yang membatasi antara tempat tinggal yg satu menggunakan tempat tinggal yang lain. Rumah-rumah tampak menyatu satu sama lain & menggunakan lingkungan di sekitarnya. Batas-batas yang terlihat hanyalah batas antara lapangan berumput menggunakan bed tanaman sayur atau bunga. Antara langit dan hutan. Antara hutan & padang rumput.
Di lapangan berumput itulah anak-anak mini berlari-larian,kejar-kejaran, berguling, bersepeda, naik turun bukit. Di demam isu dingin bukit-bukit itu diselimuti salju. Di bukit-bukit bersalju itu jugalah anak-anak membawa kereta-kereta salju mereka ke atas bukit, lalu meluncur turun. Wuiiiii!
Di semua Cobb Hill, ada 3 apartemen, 6 duplex dan 8 unit tempat tinggal . Dua puluh 3 famili tinggal pada sini menggunakan total jumlah penduduk lebih menurut 60 orang. Di Cobb Hill masih ada banyak hewan peliharaan, seperti kuda, lama , kambing, domba, sapi, ayam, ikan, kelinci, anjing, kucing & lebah madu. Cobb Hill membentuk keju, madu, sirup mapel, fungi shitake, beraneka sayuran.
Cobb Hill pada kedua demam isu yang tidak sama
Pada awalnya Cobb Hill adalah sebuah lahan pertanian. Sejak tahun 1998 mereka mulai memelihara sapi. Tidak seperti sapi-sapi yang terkurung dalam kandang-kandang kecil bersama ratusan atau ribuan sapi di peternakan besar, sapi-sapi di Cobb Hill dilepas di padang rumput dan dipelihara secara organis. Hasilnya adalah susu segar yang sebagian kemudian diolah menjadi keju dan yoghurt (http://cobbhillcheese.com/). Pembuat keju ini ada tiga orang, yaitu: Sophie Starr, Jeannine Kilbride dan Kerry Gawalt. Produksi keju dimulai pada tahun 2001. Sepotong keju Cobb Hill dapat dibeli dengan harga 22 dolar AS. Keju mereka yang berlabel Ascutney Mountain kerap memenangkan penghargaan dari American Cheese Society Competition sejak tahun 2005.
Salah satu hal baru yang saya temui di komunitas ini adalah semua rumah memakai kompos toilet. Bentuk fisik toiletnya hampir sama dengan WC duduk pada poly tempat di Indonesia. Bedanya, toilet ini tidak menggunakan air buat menyiram. Yang digunakan merupakan serbuk gergaji. Urine dan tinja eksklusif ditampung pada dalam sebuah tangki di ruang bawah tanah dan diproses menjadi kompos. Kompos itu dipakai menjadi pupuk buat flora-tanaman di kebun mereka. Disediakan jua tissue tanpa klorine & air buat membasahinya. Dengan tisu yg basah itulah kita membersihkan diri setelah buang air mini & buang air besar . Tisu itu kemudian dimasukkan ke dalam toilet dan ikut sebagai kompos.
Kompos toilet dan serbuk gergaji
Selain produsen keju & petani, para anggota komunitas mempunyai beragam profesi. Ada dosen, penulis, peneliti, fasilitator, pejuang lingkungan, pemrogram personal komputer , analis kebijakan & seniman. Uniknya, setiap orang sepertinya tidak hanya menekuni satu profesi. Sebagai model, Stephen Leslie, oleh petani pemilik sapi itu ternyata juga seseorang guru yoga. Phil Rice yg resminya peneliti, ternyata pemilik kebun sayur yang bagus (dengan catatan beliau menanam sendiri sayurannya, bukan mengupah orang buat menanam sayur). Rasanya nir ada sekat-sekat status di antara profesi-profesi itu. Sama saja. Tampaknya mereka setara, sesama anggota komunitas.
Satu hal sederhana yg relatif krusial yang aku temukan di sana adalah tempat tinggal mereka tidak pernah dikunci, cukup ditutup, supaya binatang liar tidak masuk. Padahal ada poly barang berharga di tempat tinggal -tempat tinggal itu, misalnya aneka macam peralatan elektro. Tidak pernah terdapat yang kehilangan barang. Aman! Senang sekali buat sesaat tidak perlu berhati-hati dan bersikap waspada. Sebagian beban buat konsentrasi dan mengingat berkurang. Lebih rilex. Di Indonesia, rumah-tempat tinggal dalam pemukiman misalnya ini niscaya sudah dikunci, dipagar, digembok & dijaga satpam pada setiap ujung jalan. Itupun sering masih ada yang kemalingan.
Setiap bulan para anggota komunitas berkumpul untuk pertemuan anggota. Dalam pertemuan tersebut mereka bersantai dan membahas berbagai urusan komunitas. Semua anggota diharapkan hadir, meskipun tidak diwajibkan. Pertemuan tersebut biasanya berlangsung selama setengah hari di sebuah rumah bersama yang disebut common house. Di common house, ada ruang pertemuan besar di loteng. Berdinding dan berlantai kayu. Loteng itu digunakan untuk mengadakan pertemuan. Berbagai diskusi dan kelas dilaksanakan di sana. Termasuk kelas yoga yang saya ikuti. Juga kuliah-kuliah yang dibawakan oleh para pengajar tamu seperti John Sterman, Peter Senge dan Joana Macy.
Selama saya di Cobb Hill, saya berlatih yoga di sana. Lumayan, dalam setahun program fellowship yang saya ikuti, saya mengikuti seluruh kelas yoga yang dibawakan oleh Stephen atau oleh kawan saya sesama fellow, Nirmala Nair, seorang guru yoga dari India yang tinggal di Afrika Selatan. Lumayan, kelas gratis. Ketika Nirmala berkunjung ke Indonesia, tentu saja saya mengundangnya untuk mengadakan kelas yoga untuk kawan-kawan saya di KAIL.
Selain rendezvous anggota, mereka jua memiliki komite-komite yg mempunyai tugas khusus misalnya memikirkan dan mengurus tata guna lahan, pengelolaan hutan, operasional rutin perumahan, keanggotaan, keuangan dan legal, anak-anak, pengembangan ekonomi dan bisnis dan kesejahteraan. Komite-komite ini mempunyai pertemuan sendiri, umumnya setiap bulan sekali.
Komunitas ini menghidupi nilai-nilai bersama yang mereka sepakati. Nilai-nilai tersebut di antaranya menyangkut prinsip-prinsip kesatuan antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam, keindahan, bagaimana membangun hubungan harmonis antara sesama anggota komunitas dan ciptaan lainnya, kesetaraan, keberlanjutan dan sinergi. Nilai-nilai tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk berbagai kebijakan dan kesepakatan bersama yang mengatur cara hidup di komunitas, misalnya kebijakan mengenai pengelolaan sampah dan limbah, kebijakan mengenai hewan peliharaan, kebijakan mengenai penggunaan rumah bersama, kebijakan mengenai pengelolaan lahan dan banyak lagi.
Pendiri komunitas ini adalah Donella Meadows. Ia adalah salah seorang penulis buku klasik Limits to Growth. Ia sangat dikenal di kalangan para pemikir sistem, berprofesi resmi sebagai dosen di Dartmouth College di New Hampshire, selain menjadi petani, penulis dan aktivis lingkungan. Secara rutin menulis artikel di koran mengenai isu-isu keberlanjutan yang kemudian dibukukan dalam bentuk buku, Global Citizen. Karya-karyanya masih sangat relevan untuk dibaca sampai sekarang. Untuk mendapatkannya, kita dapat mengunjungi http://donellameadows.org/.
***