Jumat, 19 Juni 2020

[OPINI] Ayah: Bukan Sekadar Pencari Nafkah, Tapi Pengemban Amanah.

Oleh: Anggayudha A. Rasa

Sumber gambar:http://www.Todaysviral.Com/wp-content
/uploads /2014/06/father-and-son-silhouette-vince-cavataio.Jpg


Dahulu laki laki dikenal hanya menjadi orang yg bertanggung jawab atas nafkah famili. Pekerjaannya merupakan berburu, mencarikan kuliner untuk keluarga. Urusan meramu makanan dan merawat famili merupakan urusan para kaum wanita. Termasuk mendidik anak.


Tapi sepertinya kerangka berpikir tadi mulai berubah, meskipun baru perlahan-lahan. Maraknya tindak kejahatan, kekerasan dalam remaja, pemerkosaan, narkoba dan banyak sekali bentuk tindak kriminalitas lainnya menuntut para orangtua bertindak lebih hati-hati dalam mendidik anak. Peran mak saja kini tidak cukup buat mengawal tumbuh kembang anak.


Menurut psikolog anak Elly Risman, peran ayah dan bunda sama pentingnya pada mendidik dan mengasuh anak. Adanya ekuilibrium pengasuhan sang ayah & bunda akan menciptakan konduite yg positif bagi anak. Sisi feminis dan maskulin pada diri anak, baik anak laki laki maupun wanita perlu ditumbuh-kembangkan secara optimal supaya nir terjadi 'kelainan kepribadian' dalam diri anak. Agar nir terdapat anak laki laki yg lebih feminim dan anak perempuan yang lebih tomboy.


Pentingnya kiprah ayah jua menjadi catatan krusial dalam sebuah penelitian internasional yg dimuat di situs artikel sains, Science Daily edisi 12 Juni 2012. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kasih sayang ayah sama krusial?Bahkan mampu lebih krusial?Dengan afeksi ibu pada pembentukan kepribadian anak.


Oleh sebab itu semestinya telah tidak ada lagi alasan bagi setiap ayah untuk cuci tangan dalam pengasuhan serta pendidikan anak. Ayah perlu merogoh kiprah pada mendidik anak baik secara pribadi atau tidak pribadi. Demi terciptanya generasi berikutnya yang lebih baik dan kokoh.


Beberapa waktu yang lalu sempat diluncurkan sebuah buku berjudul A yah A da T api A yah T iada' yang diterbitkan oleh lembaga Ayah Untuk Semua. Buku itu berisi tulisan tulisan anak anak tentang apa yang mereka rasakan terhadap keberadaan ayah di rumah. Buku itu bercerita tentang jeritan hati anak anak usia 6-12 tahun yang 'memprotes', kecewa, marah dan sedih atas ketiadaan orangtua mereka dalam kehidupan mereka.


Berikut ini nukilan puisi yg dituliskan olehsalah seseorang anakdalam buku 'Ayah ada, ayah tiada' yg disunting sang Irwan Setiadi,


AYAH KEMANA


Kantukku sudah datang

Ayah & ibu terdapat dimana
Aku ingin kita bertatap muka
Kenapa setiap hari begini saja
Kantukku sudah datang

Aku kembali bertanya
Kenapa saya dibiarkan tidur sendiri saja
Padahal aku ingin membuatkan cerita
Kantukku sudah datang

Tempat tidur yang sepi tanpa cinta
Selimut yang dingin tanpa kata-istilah
Bantal & guling tak mampu bicara

Adanya fenomena ayah ada tapi ayah tiada seperti yang dikutip oleh Irwan Rinaldi - praktisi pendidikan  keayahan- seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua tentang betapa mirisnya kondisi pengasuhan oleh ayah saat ini. Fenomena ayah yang pergi sebelum Matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam yang semakin lumrah terjadi semakin memperparah keadaan. Besarnya tuntutan pekerjaan memang membuat kondisi semakin dilematis. Antara tanggung jawab menafkahi keluarga yang 'mengharuskan' para ayah terjebak dalam rutinitas tersebut dan tanggung jawab mengasuh serta mendidik anak yang juga harus dipenuhi. Tidak mudah memang. Tapi kita yakin akan selalu ada solusi atas setiap permasalahan.



Sumber gambar:http://www.Deanthebard.Com/blog/


wp-content/uploads/2014/04/father-and-daughter-silhouette-494x329.JpgSebagai seseorang ayah yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap kehidupan & keberlangsungan keluarganya saat ini di masa yg akan tiba, maka telah semestinya kita tidak memisahkan begitu saja antara kewajiban mencari nafkah dan mengayomi famili (termasuk mengawal istri kita mendidik anak). Tidak bijak cita rasanya berakibat kewajiban mencari nafkah menjadi alasan buat cuci tangan dari kewajiban mendidik anak. Sebab bagaimanapun masa depan anak dan famili merupakan tanggung jawab kita pula. Sebab bagaimanapun kelak kita juga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupan mereka.

Mari kita luangkan waktu meski sejenak untuk menyapa, menemani, memeluk, mengecup buah hati kita, sesibuk apapun urusan kita mencari nafkah. Mari kita luangkan sedikit saja waktu untuk menelponnya, berbincang dengannya, menanyakan apa kabarnya hari ini, apa aktivitas yang baru ia jalani, dan pertanyaan pertanyaan ringan lainnya, di sela sela padatnya aktivitas kita. Mari luangkan waktu sebentar saja untuk  membacakannya sebuah cerita yang sarat akan makna kejujuran, kebaikan, ketegasan dan mengantarkan tidurnya hingga ia terlelap.


Rasanya tak muluk muluk buat mampu meluangkan waktu meski hanya 5 mnt saja buat melakukan kegiatan kegiatan itu. Sekalipun tentu akan lebih baik bila kita meluangkan lebih poly waktu buat mendidik anak kita.



Sumber gambar:https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQpSfjXeQHJHx_g8mJ1DWQJEhv5qMI8XrhPA3SQdKHtGeKeUuL5
Apalah artinya meluangkan 5 menit di antara ratusan menit yang kita sisihkan untuk pekerjaan?
Apa gunanya bersikukuh menggunakan pekerjaan bila anak sendiri tidak bisa kita bahagiakan?

Apabila kita berdalih mencari nafkah buat mereka, lantas mengapa kita tidak luangkan hati & saat yang kita punya untuk mereka meski sedikit saja?
Materi masih mampu kita cari bahkan kita beli, tapi kebahagiaan, masa depan anak dan istri takkan dapat terganti.
Sebab tanggung jawab kita tidak hanya sekedar mencari nafkah, melainkan mengemban amanah.

Renungan atas diri sendiri,

Anggayudha A. Rasa









































































Cloud Hosting Indonesia